Sixty Four

55.9K 2.3K 106
                                    

H-4 menuju puncak kebahagian Alissha dan Devon. Kini banyak orang yang beramai-ramai memeriahkan hari spesial yang akan diadakan sebentar lagi. Tak terkecuali dengan Ana, ia memilih untuk diam dan mengamati kesibukan semua orang lewat ekor matanya.

Semenjak kejadian di aula sekolahnya, Ana memang memilih untuk menjadi seorang yang pendiam. Tak ada lagi Arkan di sampingnya, karena Arkan yang sekarang adalah Arkan yang kasar dan selalu menyalahkan dirinya karena berubah. Apakah Ana sudah berubah sejauh ini? Nyatanya tidak. Hanya saja waktulah yang meminta dirinya untuk menjadi seorang yang pendiam.

Ana tak suka basa-basi lagi, dan Ana tak suka lagi mengeluarkan air matanya hanya untuk perbuatan sia-sia. Ana yang sekarang, hanyalah Ana yang tetap diam tak peduli, meskipun hatinya merasa pedih.

Seperti sekarang ini. Di depan tak jauh dari jaraknya berada, ada Arkan dan Gina yang sedang bercanda ria dengan Papah dan Mamahnya, ada Alissha dan Devon juga di sana. Ia sebenarnya juga diajak bergabung tadi, tapi ia memilih untuk menjauh karena masalah hati yang belum terselesaikan.

"Nak Arkan sepertinya cocok dengan Gina." ucap Papahnya yang terdengar jelas di sana.

Arkan dan Gina tersenyum malu-malu. Sedangkan Ana di sana, memilih untuk diam dan memperhatikan semuanya.

"Tante juga setuju, jika Arkan dan Gina menjadi sepasang kekasih."

Ana menatap mereka dengan tatapan sinis. Ada juga Alissha yang terus menatap dirinya seolah tahu dengan isi hatinya. Tapi Ana sudah tak peduli lagi, ia membanting vas bunga yang berada tak jauh darinya lalu berjalan pergi menuju kamar.

"Ana?!" bentak Papahnya namun tidak didengarkan oleh Ana lagi.

Ana lagi-lagi harus memejamkan matanya karena pedih. Tak berlinang air mata memang, namun kata-kata mereka seakan-akan terus menyayat hatinya hingga saat ini.

Sepuluh menit kemudian, Ana tersenyum kecil lalu pergi menuju kamar Aksen sesuai rencanya. Entah mengapa hatinya ingin bertemu Aksen, walaupun berkali-kali Kakaknya selalu membentaknya untuk pergi jauh-jauh darinya.

"Gue benci sama lo Kan! Lo emang bener-bener bajingan yang pernah gue temui. Dua kali lo udah buat Adek gue menderita, awas aja lo besok!!"

Ana pasti mendengar jelas apa yang diucapkan oleh Arkan. Satu senyuman bahagia langsung terbit seketika dari bibir Ana. Paling tidak, Aksen masih benar-benar menyayanginya. Dan Ana sangat suka dengan fakta itu.

"Maaf Ana.. Abang masih belum bisa membahagiakan kamu. Maaf! Semua ini pasti nggak akan pernah terjadi jika Abang bisa kontrol  emosi. Tapi sungguh, Abang nggak bisa munafik! Hati Abang masih sakit karena Gina. Ya, karena dia telah memisahkan kita hingga bertahun-tahun lamanya."

Sudah. Ana sudah tak tahan lagi! Ia langsung masuk ke kamar Aksen dengan air mata yang terus menetes.

Baru saja ia masuk. Ia sunggub kaget seketika. Lagi dan lagi! Ana melihat Aksen yang sedang memainkan cutternya dengan lincah, dan itu pada tempat yang sama, dimana luka-luka barunya yang secara fisik belum sembuh total.

Ana berlari dan memeluk Aksen dari samping. Tentu sebelum itu, Ana langsung menutup pintu kamar Aksen dengan rapat. Ia tak tahu lagi harus bagaimana, melihat orang yang disayangnya berada dititik terendah seperti ini, rasa-rasanya hatinya sangat tersayat dengan fakta-fakta yang terus berucap dari bibir Aksen.

"Please, hentikan semua ini Abang. Ana sungguh nggak suka dengan apa yang Abang lakukan." ucap Ana dengan bibir yang bergetar dengan sedikit sesenggukan.

Aksen tak langsung berhenti. Justru kegiatannya semakin menjadi-jadi. Tentu saja membuat Ana semakin khawatir. Teriak minta tolongpun, ia sudah tak bisa lagi karena mereka pasti menganggapnya omong kosong.

S.A.D In A Life (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang