Twenty Nine

83.1K 3.7K 82
                                    

Setelah kepulangannya dari rumah sakit, memang ia tercengang dengan keadaan dirumah keluarganya saat ini. Bagaimana tidak, semua barang miliknya yang ada diapertemen kini sudah berada ditempatnya sekarang ia berpijak. Medali-medali yang ia dapatkan sedari sekolah dulu, sudah bertengger rapi dilemari penghargaan keluarga. Dan padahal juga,  Papahnya baru memberikan syarat itu sekitar baru 45 menit yang lalu? Sungguh mengherankan diotak Ana.

Dilihat jam yang menempel didinding rumah itu. Waktu yang menunjukan jam 12.00 siang, membuat dahinya sedikit  berkerut heran. Padahal ia merasa bahwa sebentar lagi mentari akan menenggelamkan wajahnya.

Ana berjalan menuju sofa diruang keluarga diikuti yang lainya, lalu dengan penuh semengatnya, ia menghempaskan tubuhnya keatas sofa dengan bebasnya.

"Aaa.. A.. Duhhh." ringis Ana sambil memegangi perutnya. Tentu saja Devon yang membuntutinya langsung menunjukkan raut muka khawatir diwajahnya.

"Makanya jangan banyak ulah lagi. Udah tahu belum sembuh total, tapi malah minta balik kayak gini. Lihat kondisi dong!" semprot Devon seketika, namun masih tersirat kata khawatir didalamnya.

Ana mengerucutkan bibirnya tanda tak terima. Namun ia hanya diam sambil menyaksikan tayangan yang sedang berlangsung ditelevisi. Ia tak ingin membalas ataupun memberikan argumen apapun. Sepertinya diam adalah cara yang terbaik!

Dan kini waktu telah menunjukan pukul 14.30, samar-samar Ana mendengar obrolan dari beberapa orang cowok yang sedang bercengkerama diteras rumahnya. Namun Ana menghiraukannya dan tetap fokus dengan televisi yang menayangkan kartun kesukaannya, siapa lagi kalau bukan dua kembar botak. Dan suara itu kian mendekat diselingi beberapa tawa.

"Astaga. Adek lo bukan Sen? Perasaan baru kemarin deh dia dirawat, udah nongol aja dia di sini." ucap Azka, Azky, dan Galih yang kaget secara bersamaan. Kecuali Arkan dan Aksen yang terus menatap Ana tajam.

"Bacot." ucap Ana datar dan santai. Yang dibalas pelototan tajam dari mereka semua.

"Diajari siapa kamu dek?" tanya Aksen dengan pandangan tak bersahabat.

"Nggak ada yang ngajarin, tapi emang refleks itu mah." jawab Ana sambil memasukan beberapa keripik kentang kedalam mulutnya.

"Ya udah. Guys, gue keatas dulu ya." ucap Aksen yang dijawab anggukan mantap oleh sahabat-sahabatnya.

Namun lain untuk Arkan. Ia tengah memandang  Ana dengan tatapan tajam seperti sebelumnya. Bahkan sahabat-sahabatnya yang tersisa di sana, sampai bergidik ngeri sehingga memutuskan untuk pergi ketaman belakang dengan bantuan petunjuk dari asisten rumah tangga sahabatnya itu.

"Kamu nggak tahu kesalahan kamu sekarang apa?" tanya Arkan dengan pandangan mematikan, yang dijawab hembusan napas Ana yang terlihat jengah.

"Perasaan gue nggak punya salah deh."

Cup.

Arkan mencium Ana tepat dipipi kirinya, yang dijawab pelototan mata Ana yang tak pernah terima. Ana meminta pertanggung jawaban!

"Untuk sekarang masih dipipi, tapi lain kali kalau kamu nggak ubah kosokata kamu, aku jamin hukumannya itu tepat dibibir kamu itu." kata Arkan begitu santai.

"Ya nggak bisa gitu dong." protes Ana cepat.

Arkan menggeleng tanda tak terima protes. Sedangkan Ana hanya mendengus sebal.

Bagi gue. Satu, Cowok itu nggak pernah salah. Dan kalau salah, kembali lagi keurutan nomor satu. Intinya gue selalu yang salah. Batin Ana pasrah.

"Kenapa diem, hmmm." kata Arkan membuyarkan lamunan Ana. Dan dibalas gelengan pelan olehnya.

"Kenapa kamu udah keluar dari rumah sakit, padahal muka kamu sendiri masih pucat begitu?" tanya Arkan dengan masih memancarkan raut muka datar.

"Bosen." jawab Ana pelan.

"Kenapa bosen sih. Itu kan biar kamu cepet sembuh sayang. Pokoknya nggak mau tahu, sekarang kita kerumah sakit karena kamu belum sembuh total!" seru Arkan, bahkan duo kembar beserta galih kadang-kadang bergidik ngeri walaupun hanya mengintip.

"Nggak usah ngintip-ngintip!" ucap Arkan kepada sahabatnya, yang dibalas muka cengo oleh mereka.

Arkan menghembuskan napas pelan. "Aku nggak mau kamu kenapa-napa, aku nggak mau kehilanganmu. Jadi please, ngertiin posisi khawatirku sekarang ini."

"Aku nggak apa-apa Arkan, lagian ini udah jadi keputusanku. Jadi ngertiin juga perasaanku ya."

Arkan menghembuskan napas pelan. "Oke, fine."

Ana tersenyum senang. "Thanks."

'Jika ini membuatmu bahagia, aku siap nglakuin apapun demi kamu. Walaupun nyawaku menjadi  taruhannya pada nantinya'. Batin Arkan yang ikit tersenyum.

'Jika kamu adalah kebahagianku, maka lambat laun aku akan menerimanya. Baik hari ini, esok, maupun hari yang akan datang pada nantinya.' Batin Ana kemudian.

Dan tanpa keduanya sadari. Seseorang dengan pakaian khas perumahan tengah mengamati mereka dari awal. Ya dia Aksen, Kakak dari Anasthasya Azaria Gideon.

'Jika lo emang serius sama adek gue. Gue bakal percaya, karena gue tahu lo laki-laki yang bertanggung jawab. Tapi jika pada nantinya lo buat adik gue nangis, maka lo siap-siap ngehadapin gue. Karena gue adalah orang pertama yang ngebela dia, dan buat lo sehancur-hancurnya. Sampai pada akhirnya lo merasakan penyesalan yang amat dalam.'

*****

692 Kata.

Instagram: @vaa_morn01

S.A.D In A Life (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang