"Hahaha." tawa mereka terus meledak, dengan salah satunya yang mengemudikan mobil.
Aksen yang terus terpingkal-pingkal sambil menepuk-nepuk kursi kemudinya, Arkan yang terus memegangi perutnya sambil menahan air matanya yang mau keluar. Dan Ana yang terdiam tanpa ekspresi.
"Suwerrr, Ana ternyata punya humor tinggi ya. Nggak nyangka, tiap hari yang kelakuannya kayak es masih aja bisa ngelawak. Hebat-hebat." puji Aksen sedikit mencibir.
"Bener kata Aksen honey. Lucu aja lihat tingkah guru killer itu yang entah siapa namanya gara-gara kamu."
"Honey?" tanya Ana dengan heran.
"Iya. Honey." jawab Aksen santai.
Ana menghembuskan napas kesal. "Gue bukan tawon. Jangan samain gue kaya madu."
Arkan memdelik tak percaya. "Ya udah, baby aja kali ya."
"Jangan mirip-miripin gue sama binatang dihutan."
"Gimana kalau sayang atau bebeb?"
"Alay, lebay"
Arkan menghembuskan napas pelan. "Terserah kamu aja lah."
Ana tersenyum tipis. "Gitu aja ngambek."
Arkan mendelik tak percaya. Namun sedetik kemudian, ia memilih untuk diam. Gini ya, kalau punya cewek dinginnya kayak es.
"Kalau mau ngatain orang didepan aja kali." ucap Ana santai sambil memainkan ponselnya.
Kok bisa tau sih. Batin Arkan.
"Gampang aja, pikiranmu itu gampang ketebak."
Dan sampailah mereka dirumah sakit. Seperti yang dikatakan dokter sebelumnya, Ana harus datang kerumah sakit setiap dua hari sekali. Dan inilah saatnya untuknya dirumah sakit, nampak Papah dan Mamah Ana disana tengah menunggu.
"Dasar bandel, untung sayang." geram Mamahnya sambil menjewer telinga Ana.
Ana terkekeh. "Kan bosen dirumah mulu. Mending sekolah kan?"
Sedangkan Aksen dan Arkan masih tertawa tidak jelas dibelakang Ana, sehingga menimbulkan rasa heran dari orang tuanya.
"Kalian kenapa coba?" tanya Papah dan Mamah mereka dengan dahi yang berkerut heran, sedangkan Ana mendengus sebal.
"Jadi gini.." Aksen mengambil nafas panjang.
Flashback On.
Ana mendelik tak percaya dengan curhatan Guru Kimia yang menjelek-jelekkan Mamahnya itu. Dengan wajah datarnya, ia menyampirkan tasnya layaknya seorang cowok lalu menatap guru kimianya jahil.
"Yeee Ibu, sekate-sekatenya ngatain emak saya ngidam es batu. Mmm.. Sebenarnya saya juga bingung Emaknya Ibu ngidam apa coba ya? Selain ketemu macan sama raja singa di hutan. Soalnya wajah Ibu gak ada tampang manis-manisnya, hawanya panas mulu kayak pengin nyakar." ucap Ana datar tetapi menimbulkan tawa semuanya. Terutama Aksen yang sudah teepingkal-pingkal dan membuat semua orang cengo dengan pemandangan langka itu.
Guru Kimianya geram setengah mati.
"Ana sayang." ucap guru kimia itu lembut.
"Maaf bu saya nggak suka disayang-sayangin. Berat, ketika kita ditinggalin pas lagi sayang-sayangnya." jawab Ana sambil tersenyum tipis.
"Hahaha.."
"Kocak, konyol."
"Ana?!" geram guru kimia itu yang kesabaranyya sudah tak terkendali lagi.
"Oh ya saya keluar dulu ya Bu. Jangan rindu sama saya, takut diabetes. Ibu cantik kalau lagi senyum."
Guru kimia itu pun luluh dan tersenyum.
"Tapi jelek, kalau lagi marah. Kayak singa lagi nahan boker." ucap Ana dengan wajah sok polosnya.
"Hahaha." koor teman sekelasnya serempak.
"Tapi teman-teman. Aku salut loh sama Bu Widi, dia itu orang yang baik hati dan rajin menabung. Buktinya minggu lalu waktu dia lagi ngisi bensin, aku lihat dia lagi ngitungin dua plastik yang isinya receh semua. Ya walaupun dia butuh cuma seberapa, tapi selebihnya ia kasih ke yang lebih membutuhkan. Hebat kan?"
"Hebat.. Hebat.." semua orang bertepuk tangan memuji guru kimianya. Ana hanya tersenyum, lalu berjalan keluar.
Flashback Off.
"Mah sebenarnya Aksen masih nggak diterima kalau Mamah dikatain ngidam es batu." ucap Aksen manja.
"Mamah juga nggak terima. Mamah kan nggak ngidam pengin lihat beruang kutub, Mamah cuma ngidam semua jenis minuman es yang ada di Indonesia, tapi Papah nggak pernah ngabulin. Ya udah ngidamnya sampai sekarang nggak ketulungan, dulunya kamu juga ileran Sen."
"Hahaha." tawa Ana meledak seketika, bodo lah image nya luntur disana.
"Kamu juga Ana, kan sampai sekarang Mamah masih ngidam hal yang sama."
Ana mengerucutkan bibirnya. Hanya karena es saja, ia ileran?
Ana mencari-cari sesuatu dalam sekitar bibirnya. Syukurlah ia tak menemukan jejak air liur di sana. Itu berarti, yang dikatakan Mamahnya tidaklah benar.
*****
639 Kata.
Instagram: @vaa_morn01
KAMU SEDANG MEMBACA
S.A.D In A Life (Completed)
Fiksi Remaja(Pertama kali buat. Ini cerita ter absurd yang pernah aku buat, mohon dimaklumi) Terkadang kita bisa kuat seperti batu. Namun dibalik itu, masih tersimpan kerapuhan yang berakibat layaknya sebutir debu. S.A.D In a Life (Stone And Dust In A Life) __...