Ana tengah duduk santai dibangkunya. Tak berapa lama, Shasa datang dengan napas yang sedikit memburu.
"Ana, lo kenapa bohongin waktu lo dibully hebat sama Fiona, gue udah nangis kejer-kejer gara-gara lo bilang masuk UGD." teriak Sasha ketika Ana akan memasuki kelasnya.
"Hahahaha. Lagian otak lo geser amat sih." tawa Maudy dan Dinda bersamaan.
"Kok kalian jadi ngetawain gue." tutur Sasha yang masih cengo.
Sedangkan Ana hanya tersenyum tipis melihat tingkah sahabatnya itu. Lalu, ia mulai berjalan ringan kebangkunya.
"Jadi lo fakenerd?" tanya Sasha penasaran.
"Hm."
"Kenapa lo nutupin identitas diri?"
"Ingin."
"Terus kenapa lo nggak ngasih tau kita? Dua hari nggak masuk sekolah lagi."
'Gue udah masuk, tapi arghhh.. Ya sudahlah.' batin Ana.
"Terserah gue."
"Ishhhh, lo mah dingin mulu bawaannya. Ke kutub aja sana lah." tutur mereka secara bersamaan.
"Oke."
Dan mereka hanya bisa menatap Ana dengan cengo.
Disisi lain.
Aksen sedang melajukan mobilnya diatas rata-rata. Penampilannya tak rapi. Dengan rambut yang masih acak-acakan, mata sembab dan memerah akibat tangis, lalu dengan bibir yang tampak pucat.
"Ana kenapa kamu ngehindar dari Abang sih, Abang kangen sama kamu. Kenapa kamu sulit dijangkau sekarang, Abang sayang sama kamu."
Aksen menggigit bibir bawahnya bergetar, Air matanya mengalir begitu saja dengan deras. Dan setelah ia sampai dipekarangan sekolah, ia tak langsung masuk. Melainkan tetap duduk dijok kemudian, sambil mengacak-acak rambutnya gusar.
"Gue harus bawa lo kerumah lagi, apapun caranya. lo adek kesayangan gue. Dan selamanya lo akan selalu bersama gue. Gue pengin kaya waktu kecil dulu, kita selalu bareng ngehabisin waktu bersama-sama. Kamu penyemangat Abang , dan sekarang hidup Abang nggak berwarna karena nggak ada kamu."
Aksen mengambil tasnya setelah bel masuk telah lama dibunyikan. Ia berjalan dikoridor yang sudah sangat sepi.
Tap.. Tap.. Tap..
Perpijakan antara sepatu dan lantai koridor, membuat semua perhatian anak yang berada dikelas itu menjerit histeris melihatnya. Namun ada juga yang bertanya-tanya, kenapa Aksen begitu kacau.
Hingga akhirnya Aksen berhenti dikelasnya. 11-IPS 1, nampak sama sekali tak ada guru didalamnya. Dengan sekali hentakkan ia langsung duduk, dan menenggelamkan wajahnya diatas meja.
"Woyyy.. Lo kenapa Sen?" tanya Azka yang memang sekarang menjadi teman sebangkunya.
Aksen menggeleng lemah tanpa mengeluarkan sepatah kata. Hatinya sangat rapuh untuk sekarang ini, untuk itu Aksen tak ingin berbicara.
"Yaelah.. Gue dikacangin. Sen, lo sahabat gue dari dulu. Kenapa nggak terbuka sama gue sih, lagian nih ya gue dan lainnya udah kenal lo dari lama. Kenapa nggak nyeritain masalah lo dihadapan sahabat lo sendiri, mungkin nantinya beban hidup lo berkurang sedikit."
Aksen menegakkan badannya lalu menatap Azka. Azka kaget, ketika sahabatnya berada pada tahap kerapuhan sekarang.
"Gue nggak apa-apa. Gue masih sanggup sendiri kok. Tapi kalau memang gue udah nggak tahan, gue akan nyeritain semuanya sama lo semua. Gue janji."
Dan mereka akhirnya berpelukan, Azka merasa terharu sekarang. Karena Aksen sudah mencairkan sedikit es nya sekarang
_____
Bel istirahat berbunyi nyaring. Semua murid bersorak riang mendengarnya. Tak kecuali dengan Ana, ia juga merasakan kelegaannya sekarang. Dengan cepat ia memasukkan bukunya, lalu mengembil novelnya dilaci meja.
"Na, yuk kantin?" tanya Maudy membuka suara.
"Mager." jawab Ana sekenanya.
Namun belum saja ia membaca satu paragraf, Sasha menarik paksa dirinya menuju kantin. Ana hanya menghembuskan napas pasrah.
Setelah sampai dikantin, mereka mencari bangku kosong. Namun nihil, semua telah terisi sekarang. Hanya ada beberapa bangku tersisa, dan itu dijejeran most wanted yang berada diujung sana.
"Kemana nih, udah nggak ada bangku?" tanya Dinda yang terus mencari-cari bangku kosong.
"Perpus, buat baca." jawab Ana lalu hendak berjalan keluar.
Namun ia dicegat oleh Fiona and the geng. Tentu saja Ana menghembuskan nafas kasar, karena ia sama sekali tak ada mood buat meladeni Fiona.
"Heyy, cupu. Beliin gue bakso disana. Setelah itu, nih kerjain tugas gue." ucap Fiona lalu menjatuhkan buku yang dibawanya agar dipungut oleh Ana.
"Lo punya kaki kan, sana beli sendiri. Lo juga punya otak kan, sana kerjain sendiri. Buat apa punya otak kalau nggak dipakai. Bodoh. Lagian lo senior gue, emang seberapa mudahnya sih sampai-sampai lo nyuruh junior lo buat ngerjain. Lo bego apa bego, tuh materi kelas 12 sedangkan lo nyuruh gue yang emang baru kelas 11. Gue saranin sih, kalau emang otak lo nggak cukup mampu buat mencerna materi, udah nggak usah sekolah aja dan ratapi nasib kebodohan lo selanjutnya."
Jlebb..
Tertohok mungkin hati Fiona. Bahkan tangannya sudah mengepal kuat, dan siap-siap untuk memukul Ana. Namun dengan sigap juga, Ana menangkisnya.
"Bahkan lo lemah nggak ada apa-apanya. Kekuasaan saja yang membedakan dan membuatmu merasa paling mulia. Inget, sekarang bukan jamannya ngebedain kasta." ucap Ana yang hendak pergi.
Byurrrrr..
Fiona mengguyurkan air mineralnya kewajah Ana. Dan Ana hanya menatapnya tajam.
"Dengan ini lo pasti akan ngaca kalau lo ini berada dalam golongan rendah." ucap Fiona enteng.
Ana mengambil tisunya dari saku roknya. Presetan dengan terbongkar, ia sudah tak ambil pusing lagi. Toh identitas dia emang sudah terbongkar sekarang.
Satu usapan.. Fiona dam semua penghuni kantin terus memperhatikan Ana.
Dua Usapan.. Mereka mulai memandangnya penasaran.
Dan usapan setelahnya.. Mereka memandang cengo dengan wajah putih bersihnya. Cantik jika dipandang.
"Udah puas, minggir gue mau pergi!" seru Ana yang melangkah pergi menjauh dari kantin. Ia pergi kekelasnya, lalu mengambil tas dan akhirnya ia pulang lagi lebih awal.
*****
849 Kata.
Instagram: @vaa_morn01
KAMU SEDANG MEMBACA
S.A.D In A Life (Completed)
Teen Fiction(Pertama kali buat. Ini cerita ter absurd yang pernah aku buat, mohon dimaklumi) Terkadang kita bisa kuat seperti batu. Namun dibalik itu, masih tersimpan kerapuhan yang berakibat layaknya sebutir debu. S.A.D In a Life (Stone And Dust In A Life) __...