Fifty Five.

53.7K 2.1K 11
                                    

Benar adanya, jika Ana tak ingin merepotkan orang lain. Ia tak ingin menjadi beban, ataupun penghalang bagi mereka yang sudah menata hatinya untuk merasa bahagia dihidupnya.

Ana menatap jam tangan yang dipakai olehnya. Waktu masih menunjukkan pukul setengah tiga sore, dan entah kenapa waktu berjalan sangatlah lambat hari ini.

Setelah seharian bolos, dan menjauhkan diri dari kecurigaan Aksen maupun Alissha, kini Ana sedang duduk sendirian di pinggir danau yang terlihat jernih dengan penglihatan dimatanya.

Ana dengan tatapan kosongnya, mulai menatap danau yang membuat dirinya terlihat tenang, meskipun semilir angin terus saja lewat diatasnya. Ana tetap diam, namun mulutnya bergetar menahan tangis dari wajahnya yang sudah terlihat sayu.

Ana mengambil buku yang berada di tasnya. Lalu dengan teliti, ia mulai menulusuri tas untuk mencari bolpoinnya. Setelah itu, ia menulis curahan hatinya lewat diam.

Teruntuk dia yang tak pernah merasakan kata luka..

Tolong! Aku bukanlah wanita kuat dengan banyak kesabaran yang ada. Karena aku, hanyalah wanita lemah yang selalu pasrah dengan keadaan yang terjadi dalam dunia nyata.

Ana menyobek kertas itu, lalu dibuatnya sebuah perahu kecil yang ia letakkan dipinggir danau. Mungkin hanya itu yang dapat membuat dirinya tenang. Melihat perahu kertas itu berlayar pergi jauh dari sang pemilik, dan membawa rasa keluh kesahnya jauh dari pundaknya berada.

Setelah perasaannya mulai tenang, ia mulai bangkit dan menggendong tasnya untuk segera pulang kerumah. Entahlah, Ana sudah tahan lagi berada diluar.

Ia rindu kamarnya yang menjadi  peristirahatannya untuk sejenak. Ana tersenyum, setidaknya masih ada sedikit cahaya yang membuatnya untuk merasai damai, baik fisik maupun psikis di dalamnya.

"Anasthasya Azaria?!" bentak seseorang yang tak tahu siapa.

Ana yang memang sedari tadi hanya berjalan dalam diam, langsung menoleh kearah sang pemanggil. Sekejap, Ana tersenyum miring. Mungkin merasa muak dengan wujud orang itu.

"Kenapa kamu nggak sekolah! Aku sudah tunggu kamu didepan rumah dari jam enam pagi hari ini?!" bentak orang itu kembali. Mungkin sudah dapat ditebak, kalau orang itu tak lain adalah Arkan.

'Lo tunggu gue dengan cara bermesraan dengan cewek lain. Lo pikir gue nggak buta dengan apa yang lo lakuin sebelumnya!' batin Ana dalam hati.

Ana hanya menatap Arkan jengah, tanpa berniat untuk menjawabnya. Ia memilih untuk diam, melihat kelanjutan kisahnya yang akan terjadi.

"Kamu nggak bisu kan karena seharian ini bolos? Aku bosen nunggu balesan chat dari kamu, dan telepon yang akan diangkat kamu. Bisa kan, nggak buat orang khawatir!" seru Arkan dengan penuh tekanan disetiap katanya.

Ana hanya menatap Arkan dalam diam. Jika lo emang tulus dengan rasa yang lo punya untuk gue, terus kenapa lo masih bisa bermesraan dengan cewek lain selain gue.

"Please, respon! Aku nggak suka dikacangin kayak gini!" seru Arkan kembali.

Ana hanya mengangkat alisnya sebelah. "Terus?"

Arkan mengusap-usap wajahnya kasar. Ditatapnya Ana dengan penuh rasa, lalu dipegangnya kedua bahu Ana dengan mata yang terus menatap Ana dalam.

"Please, aku nggak ingin kamu dingin lagi kayak dulu! Kasih tahu aku, kesalahan apa yang sudah aku perbuat? Aku pasti akan memperbaiki kesalahan ku setelah aku tahu masalahnya." tanya Arkan yang nada bicaranya mulai menurun.

'Kesalahan lo, karena udah peluk orang lain selain gue. Gue sangat cemburu saat itu Kan! tentu saja itu hanya batin Ana dalam hatinya.

"Nggak apa-apa." jawab Ana singkat, padat, dan jelas.

Arkan mendengus kasar, lalu dipeluknya Ana dengan erat. Tak ada respon, Ana bahkan hanya diam tak ingin membalas. Lagi-lagi Arkan mendengus kasar.

"Oke, jadi kita pulang sekarang ya." ucap Arkan lembut.

Ana hanya mengedikkan bahu tak acuh, lalu hendak melangkah melanjutkan jalannya. Namun tangan Arkan mencekalnya, dan menghalanginya untuk berjalan.

"Biar aku yang antar! Aku nggak mau kamu jalan lagi, dan kenapa-napa di jalan selanjutnya. Dan kamu pasti tahu kalau aku nggak pernah pernah menerima penolakan!"

Ana mendengus, lalu dengan malas-malasan mengikuti Arkan yang mendahului jalannya dengan menggenggam tangan kanannya begitu erat. Ana mulai masuk kedalam mobil dan duduk tepat disamping kursi kemudi.

Ana tak banyak tingkah, sepanjang perjalanan ia hanya diam dan menatap jalanan yang berada di depannya. Bahkan Arkan hanya bisa menghembuskan napas pasrah, dan mengamati Ana dalam diam.

"Kamu tahu, Gina Florenza yang sekarang berada dirumah kamu itu adalah sahabatku ketika di LA waktu kecil dulu." ucap Arkan yang mulai  membuka pembicaraan.

Ana mungkin kaget, namun tak ada ekspresi yang terpancar dari wajahnya. Ia memilih untuk tetap diam, namun pendengarannya terlihat tajam. Tertarik dengan ucapan Arkan yang sama sekali baru didengar faktanya oleh Ana.

"Ya Gina sahabatku. Kita bersahabat karena orang tua kita yang sudah bersahabat baik dari masa kuliahnya. Namun persahabatanku tak berlangsung lama, karena beberapa bulan kemudian gue balik ke Indonesia." ucap Arkan lagi.

"Dia spesial bagiku. Karena ketika banyak orang yang terang-terangan menjauhiku karena fisik, dia ada karena tak mempunyai banyak teman di sana. Kupikir dia orang yang sangat asyik dulu, dan aku sangat kaget ketika bertemu dengan dirinya lagi setelah sekian lama." lanjut Arkan.

Ana menatap Arkan sejenak, lalu kembali menatap ke depan seperti tak peduli dengan ucapan Arkan. Mungkin hatinya bersorak senang ketika Ana mengetahui faktanya, namun egonya sangat terang-terangan menolak Ana yang hendak memeluk Arkan.

"Kamu dari mana? Nggak pergi sama selingkuhan kan?" tanya Arkan, meskipun sebagian besar hatinya menolak untuk bertanya.

"Nggak. Sok tahu banget!" seru Ana sinis.

Bukannya Arkan marah, justru ia tersenyum senang. Mungkin karena Ana sudah mulai mengrespon ucapannya itu.

"Kamu sudah makan?" tanya Arkan lagi.

Ana hanya mengangguk.

"Kamu bolos sekolah, karena lagi nggak sakit kan?" tanya Arkan sedikit khawatir.

Ana mengangguk lagi.

"Kamu lagi nggak PMS kan?" tanya Arkan dengan hati-hati.

Ana melotot, namun selanjutnya ia mengangguk kembali.

Arkan mendengus. "Kamu nggak lagi puasa ngomong kan?"

Ana lagi-lagi hanya mengangguk. Sedangkan Arkan yang sudah jengah, hanya bisa mendengus pasrah.

"Terserah kamu sajalah. Aku udah bosen ngomong, kalau ujung-ujungnya dicuekkin." ucap Arkan kesal.

Ana tersenyum tipis, bahkan hampir tak terlihat. Ia menatap Arkan yang terlihat emosi karenanya.

"Gitu aja ngambek!" seru Ana sinis.

Arkan melotot tak terima. Bahkan ia hampir membanting setirnya karena tak percaya. Namun karena Ana yang baru saja mau berbicara dengannya, ia lebih mengurungkan diri untuk meluapkan rasa kesalnya.

Dipandanginya Ana dengan senyuman yang terlihat sangat kecut. "Untung aku sayang banget  kamu loh."

Ana hanya mengangkat bahunya acuh, lalu memilih untuk mengotak-atik ponselnya yang baru ia ambil dari dalam tas nya.

"Terpaksalah aku ngalah sama kamu. Untung saja aku sayang dan cinta banget sama kamu, lebih dari hidup yang aku punya." ucap Arkan.

"Gombalan lo receh!" sungut Ana sebal.

Tak ada yang dipermasalahkan Ana sekarang. Tapi tetap saja, Ana akan selalu berharap bahwa Arkan tak akan pergi jauh lagi darinya hingga akhir waktu menentukan.

*****
1008 kata.

Instagram: @vaa_morn01

S.A.D In A Life (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang