Tiga hari berturut-turut, Ana tidak berangkat sekolah. Arkan memang telah menghitung waktu demi waktu yang terus berjalan tanpa Ana itu dengan semangat yang tak bergairah, alasannya pun karena ia belum bertemu dengan seseorang yang sangat ia rindukan sekarang ini.
Memang Arkan tak pernah absen mengunjungi Ana disetiap waktu senggangnya, tetapi entah kenapa penyakit rindu ini selalu menyerangnya. Apa yang harus dia lakukan? Boloskah? Tetap saja Ana akan memarahi dirinya karena bolos demi dia. Ana saja belum sepenuhnya menerima dia? Yang ada hanya Arkan yang menghembuskan napas pasrah.
Pada saat yang bersamaan, Ana tengah membujuk dokternya untuk pulang dari rumah sakit sekarang juga. Ia tak betah dengan bau obat dirumah sakit, ia juga sungguh bosan karena terus saja terbaring lemah diatas brangkar. Alhasil ia jengah dan ingin pulang cepat-cepat.
"Dokter.. boleh kan Ana keluar dari rumah sakit ini? Ana udah bosen berada ditempat ini. Pokoknya Ana harus pulang. Titik!" ucap Ana lantang.
Dokter dan keluarganya hanya menggelengkan kepalanya dengan sikap Ana.
"Sekali tidak, tetap tidak Ana! Sebelum kamu sehat kembali, Saya tidak akan mengijinkanmu pulang. Luka dilambungmu itu cukup parah. Dan benturan keras diperutmu itu, akan mengakibatkan perncernaan kamu pada nantinya akan terasa perih ketika dimasuki asupan gizi. Dan itu butuh penyembuhan total yang begitu lama."
'Awas tuh cabe kiloan. Tekad gue udah bulet buat ngasih pelajaran buat lo. Awas aja! Karena lo, gue berada ditempat mengerikan ini.' tekad Ana bulat dalam hati.
Mamahnya mengelus-elus rambut Ana dengan sayang. Seperti paham dengan kondisi Ana saat ini yang menginginkan kebebasan. Namun ia pun akan tetap bertekad seperti Dokter jika Ana memang belum sepenuhnya total. Mau tak mau, Ana pun harus tetap bersikeras mengikuti kemauannya itu.
"Ana, turuti apa yang dikatakan dokter! Mamah juga mendukung keputusannya sekarang. Kamu harus sembuh total, dan kamu butuh istirahat sekarang."ucap Mamahnya berusaha untuk menghibur.
"No. No. No. Ana pengin pulang sekarang. Nggak mau tahu alasannya, pokoknya pulang." ucap Ana optimis dengan keputusannya.
"Dasar batu! Keras kepala." cibir Devon kemudian.
"Biarin."
Kali ini Devon mendengus sebal. Tak ada gunanya ia berdebat dengan Ana, karena Ana memang sudah sangat keras kepala.
"Papah akan nurutin permintaan Ana." ucap Papahnya yang memang sedari tadi duduk disofa, kini mengeluarkan pendapatnya. Sehingga menimbulkan protes dari Devon beserta Mamahnya.
"Papah." protes Mamahnya dan Devon tak sependapat dengannya.
Ana bersorak ria. "Yes.. Akhirnya keluar juga dari ruangan ini."
"Tapi ada 3 syarat yang harus kamu penuhi." ucap Papahnya kemudian, sehingga Ana langsung terdiam.
"Pertama, Ana harus tinggal bersama Papah lagi bukan diapertemen." ucap Papahnya melanjutkan.
"Nggak bisa gitu dong Pah, Ana kan udah betah tinggal disitu."
Papahnya menggeleng tanda tak terima penolakannya, sedangkan Ana mendengus kesal.
"Kedua, terima kami lagi dihatimu dengan ikhlas. Kami minta maaf atas perbuatan kami, terutama Papah. Kami tidak butuh senyum palsu kamu, karena kami membutuhkan senyum tulus bahagia kamu. Kami janji nggak akan mengulangi kesalahan kami yang sama, karena kamu adalah bagian dari kami yang seharusnya saling percaya satu sama lain."
Ana terdiam membisu.
"Dan yang ketiga, Papah nggak mau kamu kayak gini lagi. Hati Papah ataupun kami sakit ngelihat kamu babak belur kayak gini. Jangan berantem, dan Papah mau kamu mendapat pengawasan ketat dari Abang-abangmu, karena Paoah nggak mau kamu kenapa-napa lagi."
'Huft sabar Ana.'
"Terserah aja lh, Ana ikhlas."
"Baik.. Ana boleh dipulangkan hari ini. Tapi Ana harus kerumah sakit ini, minimal dua hari sekali untuk pengecekan dan perkembangan kesehatan!"
Ana memandang tak percaya. Dua hari sekali. sama saja ia berada dirumah sakit ini, tapi raganya berada ditempat lain bukan?
"Dokter.. Kalau dua minggu sekali, boleh kan? Masa dua hari sekali, sama aja bohong itu mah." sambung Ana cepat.
"Tidak bisa. Ini sudah keputusan."
"Huft, terserah.. Yang penting bisa keluar dari rumah sakit ini." desahnya lirih.
****
551 Kata.
Instagram: @vaa_morn01
KAMU SEDANG MEMBACA
S.A.D In A Life (Completed)
Teen Fiction(Pertama kali buat. Ini cerita ter absurd yang pernah aku buat, mohon dimaklumi) Terkadang kita bisa kuat seperti batu. Namun dibalik itu, masih tersimpan kerapuhan yang berakibat layaknya sebutir debu. S.A.D In a Life (Stone And Dust In A Life) __...