Disebuah tempat salon, ocehan demi ocehan terus Ana lontarkan tanpa jeda. Bagaimana tidak? Ia terus bergidik ngeri ketika membayangkan dirinya memakai sebuah gaun, lalu dengan sepatu hak tinggi yang menjuntai kaki jenjangnya. Ya, tak pernah berpikir bahwa ia harus mengenakan semua itu. Ia sudah cukup nyaman dengan pakaian yang selalu dikenakannya sehari-hari.
"Pokoknya gue nggak mau pakai tuh gaun, berat!"
"Ihhhh, warnanya kok merah gitu. Ganti aja!"
"Emang harus pakai gaun, gue mau dress aja yang warna putih."
"Pokoknya itu riasannya harus natural, gue nggak mau kayak tante menor!"
"Gue nggak mau pakai higheels, gue pakai sepatu aja. Nggak terima penolakan!"
Shalsa dan lainnya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Ana. Terus saja Ana menoleh ketika sang perias salon akan mewarnai wajahnya. Berteriak histeris, ketakutan, bahkan menangispun Ana lakukan. Namun apa yang Shasa dan lainnya lakukan? Justru membuat mereka terus tertawa dengan penolakan-penolakan yang Ana ajukkan.
"Suwerrr.. Butuh diabadiin nih." tawa Shasa meledak.
"Bener tuhh, kayak badut ancol beneran lo An!" ledek Maudy dengan tawa yang dibuat-buat.
Ana yang mendengarnya pun langsung mendelik tajam ke perias salonnya.
"Tuh kan kayak badut. Pokoknya gue nggak mau tahu, hapus dan ganti yang lebih natural lagi."
Sedangkan Dinda memilih untuk diam melihat tingkah Ana yang terus mendegus kesal.
Dan butuh waktu dua jam bagi sang pemilik salon untuk mendandani Ana. Lihatlah sekarang, semua menganga tak percaya melihat penampilan Ana yang sekarang. Walaupun hanya memakai dress putih selutut dengan balutab sepatu sneaker yang seirama, justru menambahkan kesan menarik dengan wajahnya yang tetap natural.
"Sumpah, cantik banget lo Na." puji Dinda yang membuka suara.
"Bener Na, kecantikan lo nanti nggak ada tandingannya." sambung Shasa dan Maudy bersamaan.
"Udahlah. Biasa aja gue ngerasainnya." jawab Ana santai.
"Yee.. Yang dipuji mah sombongnya nggak ketulungan." ledek Maudy langsung.
"Emang siapa yang lagi sombong!" sungut Ana sebal.
"Sudah-sudah. Mending kita berangkat sekarang aja, nggak pada mau telat terus dapat sanksi kan?" lerai Dinda cepat.
Mendengar itu, Ana tersenyum.
"Emang lo yang paling ngertiin gue Din, ayo lah kita berangkat. Biarin tuh dua kunyuk pada jalan kaki." ucap Ana yang langsung menggandeng Dinda.
Dinda tersenyum bangga. "Jelas dong."
Shasa dan Maudy mencibir. "Yang sombong mah apa."
"Bodo amat!" seru Dinda dan Ana kompak, lalu berjalan keluar mendahului mereka.
___
Tak butuh sampai tiga puluh menit untuk mereka sampai di sekolah yang sudah ramai dengan banyak murid yang telah hadir. Dan jujur saja Ana gugup setengah mati, ia tak ingin ikut masuk kedalam pesta itu.
Dinda yang berada disebelahnya pun menyenggol tungkai Ana. Ana yang peka pun langsung terlonjak kaget dan menoleh kearah Dinda yang terkekeh kecil.
"Kenapa?" tanya Ana heran.
"Ayo masuk. Nohh udah lagi sambutan pemilik yayasan. Daftar hadir udah diisi sama Shasa dan Maudy sekalian tadi, jadi kita langsung masuk aja." jelas Dinda panjang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
S.A.D In A Life (Completed)
Teen Fiction(Pertama kali buat. Ini cerita ter absurd yang pernah aku buat, mohon dimaklumi) Terkadang kita bisa kuat seperti batu. Namun dibalik itu, masih tersimpan kerapuhan yang berakibat layaknya sebutir debu. S.A.D In a Life (Stone And Dust In A Life) __...