Arkan mondar-mandir tidak jelas di depan salah satu ruangan yang memang berada dirumah sakit. Berulang kali, ia juga melirik kearah jam tangan yang dikenakannya. Namun seseorang yang berada didalamnya belum keluar-keluar.
Hampir berjam-jam penuh Ana berada didalam sana. Entah apa yang terjadi, sepertinya Dokter masih begitu serius menanganinya. Arkan pun hampir tak kuasa menahan sakitnya didada, mungkin jika ia yang berada diposisi Ana saat ini, ia tak perlu melihat Ana yang menderita di dalam sana.
"Kak.. Gimana keadaan Ana? Apakah dia baik-baik saja? Udah keluar apa belum? Dia nggak kenapa-napa kan?" tanya Sasha bertubi-tubi, ia baru sampai bersama teman-temannya dengan napas yang begitu tersenggal-senggal.
Arkan menggeleng lesu. "Gue belum tahu keadaannya. Kita doain aja semoga dia baik-baik saja."
Dan kini sahabat Arkan datang dengan buru-buru. Termasuk Aksen yang datang dengan mata yang memerah menahan tangis. Dan itu menimbulkan tanya bagi yang lain. Kecuali, Arkan yang memang lagi banyak pikiran saat ini. Mereka baru sampai, lantaran jam pulang sekolah baru dibunyikan saat-saat ini.
Maudy dan Dinda pun kini telah sampai membawa banyak minuman yang dibelinya dari kantin dirumah sakit. Ia tak langsung ikut Shasa kemari tadi, karena tenggorokan mereka yang terlalu kering. Sehingga memilih untuk membeli minuman dulu, untuk mereka semua yang ada di sana.
"Guys.. Pada minum dulu gih, gue tahu kalau kalian kehausan." ucap Dinda sambil menyerahkan sekresek minuman penuh kepada orang-orang yang berada disana. Dan diambil oleh mereka. Namun tidak dengan Aksen, ia seperti patung yang tak dapat bicara.
"Kak, ini minumnya?" tanya Maudy yang menyerahkan botol minuman untuk Aksen, namun tidak ditanggapi sama sekali.
"Aksen." kali ini Galih yang memanggilnya, namun tak ada reaksi apapun dari sahabatnya itu. Hingga Azka yang memang berada disebelah Aksen, menyenggol lengannya.
"Iya. Kenapa? Ada apa?" tanya Aksen yang memang tidak konsentrasi.
"Lo kenapa?" tanya Arkan yang melihat Aksen dengan mata yang memerah.
"Enggak apa-apa."
Ting.
Ruangan terbuka yang menampilkan seorang dokter dengan keringat yang membasahi sekujur tubuhnya. Arkan yang melihatnya oun langsung berlari menghamipiri.
"Bagaimana dengan pasien didalam sana? Apakah dia baik-baik saja? Apakah tak ada luka serius? Dan apakah kami boleh masuk kedalam?" tanya Arkan bertubi-tubi dengan raut muka khawatir.
"Apakah anda keluarga dari pasien. Saya membutuhkan keluarganya sekarang?" tanya dokter itu kemudian.
Arkan menggeleng lemah. "Saya pacar dari pasien yang berada didalam."
Arkan sendiri pun masih belum tahu dengan keluarga pacarnya itu. Alhasil ia langsung merosotkan diri ke lantai dengan rambut yang diusap-usapnya secara kasar.
"Apakah anda punya nomor telepon yang dapat digunakan untuk menghubungi keluarganya, atau teman-temannya mungkin." ucap dokter kembali sambil mengedarkan pandangannya kesekeliling.
Semua orang disana menggeleng lemah, tak terkecuali Aksen yang memang bibirnya masih bergetar hebat menahan tangis.
"Kami membutuhkan data pasien, untuk pengobatan yang lebih lanjut. Dan kami butuh keluarganya untuk meminta persetujuan pengobatan ini." jelas dokter itu panjang lebar.
Aksen kini menitikkan air matanya. "Saya kakak kandungnya. Lakukan pengobatan itu jika memang diperlukan. Untuk data diri pasien, saya yang akan memberikan informasi tersebut dan mengurusi administrasinya. Namun sebelum itu, izinkan saya untuk memberitahu soal ini kepada orang tua saya."
Semua orang melongo tak percaya dengan penuturan Aksen. Mereka terkejut atas pengakuan Aksen, namun Aksen menghiraukannya. Karena yang terpenting baginya sekarang adalah keselamatan adiknya didalam sana.
"Baik, ayo ikuti saya." ucap dokter itu, yang dijawab anggukan patuh oleh Aksen.
Sambil berjalan Aksen menghubungi Mamahnya dengan mengetikkan nomor diponselnya.
"Mah, kerumah sakit sekarang." ucap Aksen serak.
"...."
"Bukan Aksen Mah, tapi Ana."
"...."
"Aksen tunggu di sini."
Dan tiga puluh menit telah berlalu. Kini keluarga Aksen telah datang dengan raut muka yang khawatir dengan mata yang sembab. Terlebih lagi Devon, penampilannya sangat tidak layak dikatakan rapi. Disana juga terdapat Alissha yang memandang kesekitarnya kosong.
"Bagaimana keadaan adikmu Aksen." tanya Papahnya sambil mengusap air matanya.
Aksen menatap Papahnya dengan mata yang memerah kembali. Lalu tanpa aba-aba, ia memeluk Papahnya sambil menangis terisak.
"Aku nggak mau kehilangan Ana lagi Pah. Aku nggak mau dia pergi lagi dari Aksen. Aksen nggak mau sendiri lagi, Aksen masih pengin main sama Ana. Ak.. Aksen.." ucap Aksen sambil sesenggukan.
Semua sahabat Aksen menatap pemandangan itu tak percaya. Sosok manusia kutub yang terlihat dingin didepan, ternyata menyimpan kepiluan dihatinya.
'Jadi ini yang kamu sembunyikan dari kita selama ini Sen.' batin Arkan.
'Jadi ini yang membuat lo dingin, lo emang aktor hebat Sen.' batin Azka.
'Lo cocok jadi pemeran utama. Secara, lo punya banyak ekspresi untuk nyembunyiin kerapuhan lo.' batin Galih sambil tersenyum.
'Ternyata lo bisa nangis juga Sen.' batin Azky sambil mengelap air matanya.
'Apa lagi coba yang lo sembunyiin dari gue lagi Na.' batin sahabat Ana yang memang berpikiran sama.
"Eh,, ada temen-temen Aksen sama Ana ya. Tante nggak lihat kehadiran kalian dari tadi."
Mereka tersenyum kikuk.
"Berhubung ini sudah sore, kalian bisa pulang sekarang. Tante takut, kalian dicariin sama orang tua kalian. Nanti kalau ada perkembangan dari Ana, insyaallah Tante minta Aksen biar ngabarin ke kalian."
Mereka mengangguk lalu berpamitan dengan Mamahnya Aksen sekaligus Ana. Tak terkecuali dengan Arkan, dia masih mematung memikirkan Ana.
"Arkan." panggil Aksen pelan.
Arkan menoleh dengan lesu.
"Lo pulang gih. Gue tahu lo belum makan dari tadi." ucap Aksen mengkhawatirkan sahabatnya.
Arkan menggeleng.
"Gue pasti akan ngabarin lo kok perlembangan Ana. Lo pasti nggak mau kan, pas Ana bangun lo dalam keadaan sakit?"
Arkan lagi-lagi menggeleng.
"Untuk itu lo harus pulang, istirahat. Besok lo kesini lagi, siapa tahu Ana sudah sadar."
Arkan hanya mengangguk pasrah menanggapi.
*****
882 Kata.
Instagram: @vaa_morn01
KAMU SEDANG MEMBACA
S.A.D In A Life (Completed)
Teen Fiction(Pertama kali buat. Ini cerita ter absurd yang pernah aku buat, mohon dimaklumi) Terkadang kita bisa kuat seperti batu. Namun dibalik itu, masih tersimpan kerapuhan yang berakibat layaknya sebutir debu. S.A.D In a Life (Stone And Dust In A Life) __...