Sixty One

54.1K 2.1K 56
                                    

Satu minggu lebih semenjak kedatangan Gina di rumahnya. Namun pada saat itu, ia sudah memporak-porandakkan semuanya. Termasuk memporak-porandakan ketenangan Ana!

Ana yang baru saja mengalami kebahagian, tiba-tiba saja ia mengalami penderitaan yang bertubi-tubi dalam hidupnya. Aksen? Ia sudah tak terlihat lagi dimana-mana. Kemunculannya seperti arwah hantu yang bergentayangan. Ana pun tak tahu apa yang terjadi sebelum-sebelumnya, intinya Aksen sudah berubah terhadapnya sekarang.

Satu minggu lagi pernikahan Devon dan Alissha akan dilaksanakan. Namun Aksen susah dicari, entah dimana dirinya sekarang. Aksen jarang pulang, kalaupun pulang ia pasti akan merasakan Aksen yang berekspresi lebih datar dari sebelum-sebelumnya. Dan Ana tak mengerti alasanya yang jelas.

Dan sekarang ini, ana berada dibalkon kamarnya sembari mengetik sesuatu di dalam laptopnya. Malam minggu tak membuatnya ia keluar malam, terlebih ia belum berbaikan dengan Arkan.  Dan itu ia lakukan, hingga ada Papahnya yang kini berada didepannya.

"Kenapa?" tanya Ana to the point.

"Kamu masih marah sama Papah soal kemarin?" tanya Papahnya balik.

"Kenapa Papah bertanya, di saat sudah tahu pasti jawabannya." desis Ana langsung.

Papahnya mendengus pasrah. Nyatanya Anaknya  tak pernah melupakan sesuatu yang terjadi pada masa lampau.

"Papah minta maaf sama kamu." ujar Papahnya lagi.

Ana menaikkan satu alisnya.

"Kenapa?" tanya Ana lagi.

"Papah melakukan semua itu, karena Papah terikat janji dengan orang tua Gina. Dan itu pun karena Papah ingin balas budi." jawab Papahnya.

"Balas budi?" tanya Ana yang mulai bingung.

Papahnya mengangguk, lalu menceritakan semua yang terjadi ketika dirinya berada di LA. Setelah selesai, Papahnya menatap anak perempuan satu-satunya yang tengah berpikir keras.

"Jadi, Papah minta Ana buat berteman sama Gina nanti? Karena Gina juga hilang ingatan akibat kecelakaan, yang membuat Papah jadi ngerasa bersalah. Papah sudah tahu kan fakta sebelumnya!" tanya Ana lagi.

Papahnya mengangguk lesu.

"Sebenarnya juga, Papah juga tak ingin membawa Anak sahabat Papah kemari. Tapi mengingat dulu Papah yang selalu dinomor satukan oleh orang tua Om Adam, jadi Papah ragu untuk menolak."

Ana mengangguk, namun beberapa detik kemudian ia tersenyum sinis.

"Jadi kesimpulannya, Papah mau menduakan Devon, Aksen maupun Ana  dengan menomor satukan Gina dimata Papah. Omong kosong!"

Ana berlari keluar dari rumahnya dan berjalan entah kemana. Air matanya entah mengapa mengalir begitu saja dari pelupuk matanya. Dan entah kenapa, Papahnya baru memberitahukan alasannya, disaat Aksen sudah berubah? Baginya itu hanya omong kosong belaka sekarang.

Ana berjalan tanpa tahu arah. Namun memori otaknya mengingatkan ia tentang suatu tempat yang pernah didatangi olehnya dan Arkan pada malam minggu yang pernah lalu dari sebelum-belumnya.

Ana tersenyum. Setidaknya ia tak memaki-maki lagi otaknya, karena berkatnya ia masih tahu jalan menuju tempat itu. Ya, meskipun ia hanya  modal jalan kaki saja. Namun, sepertinya akan banyak cukup waktu untuknya.

Ana juga cukup bersyukur sekarang. Meskipun ia tak membawa sepeser uang ataupun ponsel, namun ia masih mengenakan jam yang berfungsi menunjukkan waktu baginya. Dan tepat pada menit ke empat puluh, ia telah sampai di tempat itu. Tentu saja dengan ia memberhentikan transportasi yang hendak pergi kearah itu.

Degg..

Niat untuk menenangkan diri, pupus sudah dilihatnya. Tiga kali untuk orang yang sama, dan Ana cukup tau itu. Ia melihat sosok Arkan dan Gina yang tengah saling berangkulan dan duduk dibawah cahaya rembulan menikmati kunang-kunang didepannya.

Baru saja Papahnya yang melakukan, kini ganti dengan kekasih dan orang yang telah merenggut semua kebahagiannya. Lalu, siapa lagi yang akan melakukan semua itu setelahnya? Ana harap, bukan Aksen yang melakukannya.

"Ar, kamu tahu nggak dulu waktu kecil kita sering lihat bintang dan bulan pada malam hari?" tanya Gina yang samar-samar terdengar ditelinga Ana.

Arkan mengangguk.

"Aku ingat, bahkan sampai sekarang aku masih melihatnya. Karena bintang dan bulan akan selalu mendekatkan kita, disaat kita masih berjauhan." jawab Arkan selanjutnya.

Ana tahu itu. Ia bersembunyi dibalik pohon besar agar mereka tak terganggu dengan kehadiranya. Sebelum ini, ia  dan Arkan pun pernah ke suatu tempat dimana bintang dan rembulan selalu bersinar terang di setiap harinya.

Jadi, apakah Gina adalah orang spesial yang pernah Arkan katakan waktu itu. Apa lagi ini? Ana meletakkan tangan kanannya di dada, rasa-rasanya sesak sekali untuk bernafas walau sekali hirup.

Stay positive thinking. Ana berusaha tersenyum, walau sepertinya susah sekali untuk membuat lengkungan di bibirnya. Alih-alih bukan senyuman tulus yang ia dapat, melainkan senyuman miris ketika melihat kekasihnya sendiri bermesraan dengan perempuan lain. Sahabat rasa pacar itu namanya.

Ana memejamkan matanya. Pelan-pelan, ia mulai menghirup napas dan menghembuskannya. Dan itu ia lakukan secara berulang-ulang, sampai akhirnya ia berjalan lagi meninggalkan mereka yang sedang bersama. BERDUA!

____

Ana memasuki rumahnya, ketika waktu menunjukkan pukul 10 malam. Tak ada yang ia lakukan, selain melontarkan senyum. Mulai saat ini, ia ingin melanjutkan skenarionya sendiri tanpa bantuan orang lain.

"Habis dari mana kamu?" tanya Mamahnya yang memang belum tidur.

"Habis lari dari kenyataan Mah. Tapi nyatanya saya balik lagi, dan nggak jadi bunuh diri." jawab Ana enteng tanpa mengoreksi lagi ucapannya.

"Ana jaga omongan kamu, Papah nggak suka!" seru Papahnya dengan volume yang lumayan tinggi.

Ana menoleh kearah Papahnya, dan sedikit tersenyum. Namun lihatlah arah matanya, terdapat tatapan kosong yang susah diungkapkan.

"Iya maaf, bercanda kok. Ya sudah, Ana pergi keatas dulu." ucap Ana seperti tak terjadi apa-apa.

Tepat pada saat itu, Gina datang dengan senyuman merekah. Tentu Ana yang masih berada di sana, memilih untuk berdiam diri sebentar di sana.

"Om, Tante, Gina seneng banget deh hari ini. Nggak sia-sia, Gina ikut ke Indonesia."

"Memang kenapa? Boleh Tante tahu?" tanya Mamahnya.

Tepat pada saat itu, Ana memilih untuk pergi ke kamarnya. Sungguh, ia tak ingin tahu kelanjutannya, dan sebaliknya ia hanya ingin tak tahu apa yang seharusnya tidak dilihatnya tadi. Nyatanya, semuanya sudah terjadi.

Jika ini adalah ujian, maka aku akan bersabar menghadapi.
Jika ini adalah takdir, maka aku dengan senang hati kan menerima.
Dan jika ini adalah pelampiasan sesaat, maka tolong jangan buat aku menghindari dan menjauhi.
Karena sejujurnya dalam lubuk hatiku ini, aku merasa sakit, dengan apa yang Tuhan ujikan pada hamba-Nya.

*****
982 Kata.

Instagram: @vaa_morn01

S.A.D In A Life (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang