Rasanya pegal sekali ketika kita tidur, namun itu dalam keadaan terduduk. Dan itu persis seperti yang dirasakan Ana saat ini. Ia menggerakkan seluruh tubuhnya yang rasa-rasanya akan remuk seketika, jika ada yang menyentuhnya sedikit saja.
Akan tetapi, Ana tak ingin mengeluh. Toh, ini demi Aksen yang dirawat di rumah sakit. Tak ada yang tahu, mungkin hanya dirinya saja. Dan ia tak akan membuka mulut kepada siapapun, demi kesembuhan Kakaknya karena mereka.
Berbicara soal waktu, kini jam masih menunjukkan pukul enam pagi. Dan ia sudah berada dipelataran rumahnya yang tergolong luas itu, sesekali menggerakkan tubuhnya yang masih agak pegal. Ia datang ke sana tak lebih karena ingin pergi kesekolah dan memakai seragamnya. Namun belum saja ia mengangkat satu kakinya diteras rumah, Papahnya sudah datang dan menginterogasi dirinya.
"Dari mana kamu semalaman ini? Papah nggak suka ya kamu keluyuran terus, memang nggak ada rumah kamu hah! Papah juga nggak suka ya kalau kamu sudah mau jadi seorang berandalan dan susah diatur!" seru Papahnya.
Ana menatap Papahnya datar.
"Ana pulang pagi karena ada alasan Pah, lagi pula Ana udah nggak betah dengan suasana rumah yang kian hari kian berubah." jawab Ana datar.
"Ana, kita nggak pernah ngajarin kamu kurang ajar! Kamu harus sopan dengan orang tua, terlebih lagi Papah." kali ini Mamahnya memperingatkan. Ya, Mamahnya baru saja datang beberapa detik ini.
Ana tersenyum sinis.
"Kalian nggak sadar diri! Ana emang nggak pernah diajarin sopan santun sama kalian!" balas Ana yang masuk ke dalam rumah dan melewati mereka. Hilang sudah kesabarannya dalam sekejap.
"Kalian lupa, Ana dibuang ke panti demi keegoisan kalian!" gumam Ana ketika sampai di dalam kamar. Matanya lagi-lagi menyorotkan sejumlah luka dalam hidupnya.
Ana langsung berganti baju, dan mengambil ponsel yang semalaman ini tertinggal di atas ranjangnya. Ia menjadwal buku pelajaran hari ini, lalu berangkat saat itu juga.
Ana sudah tak terlalu peduli dengan Arkan dan Gina yang sudah bersama pagi-pagi gini. Ya Ana tahu itu, karena ia tak sengaja berpapasan dengan Arkan yang hendak masuk ke dalam rumahnya.
Tak ambil pusing. Ana pergi menuju halte dan menunggu bus untuk kedua kali setelah hidupnya berubah, selama ini ia juga lebih memilih untuk menaiki angkot sebagai transportasi umum.
Tak butuh lama, bus datang dan sesegara mungkin membuatnya masuk ke dalam. Ia duduk menghadap jendela, dan tak peduli dengan keadaan sekitar lagi.
"Hai, kita bertemu lagi untuk kedua kali." sapa seseorang yang membuat Ana menoleh.
Ana menaikkan satu alisnya. "Siapa?"
"Lo lupa siapa gue? Kita pernah ketemu lho sebelumnya, kayaknya sih disekitar taman deh." jawab orang itu kembali.
Ana mengingat waktu sebelumnya. Benar, ada seseorang yang menceramahinya dulu. Dan Ana langsung ingat wajahnya, karena orangnya berada di depannya saat ini. Persis seperti dulu ketika bertemu pertama kali.
"Terus?" tanya Ana lagi.
"Gue Davin anak SMA sebelah. Lo pasti tahu kan, secara gue adalah kapten basket terkenal. Tentu saja, gue punya banyak followers dari sekolah-sekolah tetangga. Termasuk dengan sekolah lo itu." ucap orang yang bernama Davin itu, dengan tingkat kepercayaan dirinya yang terlalu tinggi.
Ana mengernyit bingung. Tentu saja Ana tak mengetahuinya. Karena selama ia sekolah di sana, Ana tak pernah menonton basket secara langsung. Kalaupun nonton pun, itu pasti hanya pertandingan antar kelas. Tak melebihi kompetisi antar sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
S.A.D In A Life (Completed)
Teen Fiction(Pertama kali buat. Ini cerita ter absurd yang pernah aku buat, mohon dimaklumi) Terkadang kita bisa kuat seperti batu. Namun dibalik itu, masih tersimpan kerapuhan yang berakibat layaknya sebutir debu. S.A.D In a Life (Stone And Dust In A Life) __...