Ana menjatuhkan tubuhnya begitu saja diatas lantai, setelah ia mengunci pintu kamarnya. Wajahnya tersirat bahwa ia sedang berpikir keras saat ini, namun alih-alih yang ia dapatkan hanyalah dengusan kasar yang keluar dari bibirnya begitu saja.
Ia mengusap-usap wajahnya dengan kasar, lalu dengan sedikit kekuatan yang ia punya, ia langsung pergi menuju kamar mandinya dengan cepat.
ByurrrRRR..
Ia mengguyur tubuhnya dengan dinginnya air yang mulai membasahi seragamnya. Ia tak bisa berpikir jernih saat ini, mungkin dengan cara seperti ini, ia dapat menyegarkan otaknya.
Setelah dirasa cukup, Ana mulai keluar kamar mandi dengan wajahnya yang lebih segar dari sebelumnya. Ia mengambil handuk, untuk mengeringkan rambutnya yang sedikit basah. Dan setelah selesai, ia berencana untuk menyisir rambutnya. Namun belum saja ia mengambilnya, seseorang mengetuk pintu kamarnya.
Tok.. Tok.. Tok..
Ana menghembuskan napas pelan. Dengan langkah gontai, ia mulai berjalan untuk membukakan pintu. Dan terlihatlah Alissha yang tersenyum padanya.
"Mbak boleh masuk?" tanya Alissha sambil tersenyum tipis.
Ana hanya mengangguk pelan, lalu membiarkan Alissha yang masuk lebih dulu. Setelah itu, Ana menutup pintunya kembali dan menguncinya juga.
"Kenapa?" tanya Ana to the point.
Alissha hanya terkekeh. "Lo utang penjelasan sama Mbak dengan peristiwa tadi. Mau cerita?"
Ana lagi-lagi hanya dapat menghembuskan napas pelan. Dan memilih untuk mendudukkan dirinya diatas kursi yang selalu digunakannya untuk belajar. Sedangkan Alissha, ia lebih memilih untuk mendudukkan dirinya diatas ranjang.
"Mulai dari mana?" tanya Ana pelan.
"Terserah. Gue siap mendengar curahan hati lo, dan apa hubungannya dengan Aksen ditampar calon mertua." jawab Alissha sambil terkikik pelan.
"Lo belum kenalan sama cewek itu?" tanya Ana lagi.
Alissha menggeleng. "Mereka aja baru nyampai tadi. Jadi belum sempat kenalan. Emang siapa tuh bocah?"
"Lo tahu siapa orang yang dengan teganya udah buat gue jauh dari namanya orang tua? Dititipkan di Panti padahal punya orang tua yang masih lengkap? Dan tentu saja tuduhan palsu yang sama sekali gue nggak pernah lakuin itu?" tanya Ana lagi.
Lagi-lagi Alissha menggeleng. "Nggak lah, kan lo kalau cerita cuma setengah-setengah, nggak langsung jadi."
"Dia seseorang yang sama di masa lalu. Di mana gue bisa berada dititik paling terendah karena rapuh. Tak dapat berdiri tegak meskipun hanya sementara ketika didepan banyaknya lautan manusia. Dia orang yang sama, yang buat Aksen koma begitu lama. Dan dia tak lain adalah Gina Florenza."
Alissha diam memperhatikan. "Gina Florenza?"
Ana mengangguk. "Anak sahabat Papah yang buat Aksen kecelakaan parah."
Dan setelah itu Ana pergi dari kamarnya, dan meninggalkan Alissha yang masih berpikir keras.
Ana tak mungkin turun kebawah menemui orang tuanya di saat Aksen mengurungkan diri di dalam kamarnya. Dengan langkah pelan, Ana mulai berjalan menuju kamar Aksen dan mengetuk pintu kamarnya.
Tok...Tok... Tok...
Tak ada sahutan. Dengan sedikit keyakinan, Ana menggenggam pintu kamar Aksen berharap tidak terkunci. Dan dugaannya sangat benar, dengan langkah cepat, Ana berjalan masuk ke dalamnya.
"Bang Aksen." panggil Ana, namun tak ada sahutan.
Ana mulai menelusuri kamar Kakaknya, namun sama sekali tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Rasa khawatir tentu saja terjalar begitu saja, melihat aksi Aksen yang belum lama telah dilakukannya. Apa yang sedang Aksen lakukan sekarang? Ana berharap Aksen tak melakukan apa-apa yang membahayakan tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
S.A.D In A Life (Completed)
Fiksi Remaja(Pertama kali buat. Ini cerita ter absurd yang pernah aku buat, mohon dimaklumi) Terkadang kita bisa kuat seperti batu. Namun dibalik itu, masih tersimpan kerapuhan yang berakibat layaknya sebutir debu. S.A.D In a Life (Stone And Dust In A Life) __...