Ten

106K 5K 81
                                    

Ana merebahkan tubuhnya diatas ranjang. Pikirannya melayang kemana-mana, dan Ana terus saja berfikir keras hingga waktu yang masih berjalan ini.

Terbayang kejadian masa lalu, yang mengakibatkan dirinya jauh dari keluarga. Berpisah dari mereka, dan jauh dari yang namanya sebuah kasih sayang mereka.

Mereka tak ambil resiko, ketika dengan teganya mereka pergi meninggalkan dirnya sendiri dalam keadaan yang sangat-sangat rapuh. Bahkan tak tanggung-tanggung, mereka menitipkan dirinya kepanti asuhan yang memang dalam kenyataannya, ia masih memiliki keluarga yang jumlahnya lengkap.

Ana selalu menunggu mereka datang, lalu dengan rasa penyesalan mereka mengatakan maaf dengan penuh kasih sayang, dan kemudian mereka mengecup kening Ana dengan lembut dan akhirnya akan membawa pulang dirinya dari sana. Namun semua itu, hanyalah kemustahilan dan imajinasi semata waktu itu.

Karena sampai sekarang, Ana tetap selalu sendiri dan kesepian di tempat itu, layaknya tak memiliki keluarga. Mereka menghukum berat dirinya, sigadis polos yang tak bisa banyak bicara, walaupun untuk menyatakan kebenaran saat itu. Dan Ana sangat benci, ketika mengingat semua itu terjadi.

Flashback On.

Umur Ana saat itu mungkin masih bekisar  10 tahun. Waktu itu, ada acara keluarga dengan para sahabat Papah dan Mamahnya yang memang diadakan diadakan setiap tahunnya. Ya, itu tak lain adalah acara reunian dengan alumni teman-teman orang tuanya semasa kuliah.

Saat itu, Ana dan Aksen sedang asyik-ayiknya bermain bola disekitar taman yang tak jauh dari tempat acara reunian yang dilaksanakan itu. Dan sesekali mereka juga melontarkan candaan dan tawa yang membuat mereka kembali tertawa bersama.

"Kak Aksen, bolanya tangkep nih." ucap Ana dengan penuh semangat.

"Haha.. Apa kamu bisa main bola dek? Pasti  aku yang nanti akan menang." jawab Aksen sambil memeletkan lidahnya, tentu saja dengan tawa yang sedikit meledek.

"Nggak mungkin, Ana lah yang pasti akan menang." balasnya percaya diri.

Aksen mendengus kesal dan memasang wajah sengitnya, sedangkan Ana berusaha untuk terus percaya dengan dirinya saja, bahwa dia pasti bisa menang. Namun belum saja ia melempar bola itu, seseorang mendorong Ana dan akhirnyanya terjatuh menabrak kerasnya batu diatas tanah sana. Tentu saja Ana meringis kesakitan dengan darah yang menetes langsung dikeningnya, dan Aksen dengan raut wajah khawatirnya, mulai menolong Ana untuk berdiri tegap.

Ana menoleh dan menatap orang yang dengan teganya mendorong dirinya hingga erjatuh. Nampak dia tertawa lepas karena bahagia. Ya, Ana tahu nama anak itu. Gina Florenza. Salah satu dari anak sahabat Papah dan Mamahnya, yang memang  memiliki sifat usil dan jail kepada orang lain.

"Maksud kamu apa sih!" ucap Aksen membela Ana dengan tatapan tajamnya.

Gina hanya terdiam tak menjawab, seakan-akan terpaku dengan kemarahan Aksen.

"Aku bilang sekali lagi! Maksud kamu apa buat adekku terluka?!" bentak Aksen ketika Gina tak menjawab ucapannya.

Saat itu mungkin Aksen sangat marah besar, dan tak bisa mengontrol emosinya. Bahkan gaya bicaranya yang biasa lembut, kini telah berubah tajam.

"Aku kan hanya bercanda Sen, nggak usah dimasukkin kehati ya." jawab Gina dengan manja.

"Tapi bercandaan kamu udah keterlaluan?!" bentak Aksen lanjutnya.

Gina langsung mengeluarkan air mata. Sesekali ia sesenggukan karena takut, dan Ana hanya bisa menatapnya iba.

"Kak Aksen udah nggak usah dilanjutin. Lagian tadi Gina udah ngomong kan kalau dia itu bercanda." ucap Ana membela Gina karena merasa kasihan.

"Tapi dia udah keterlaluan dek." jawab  Aksen lembut.

"Ya udah kita balik aja yuk ke Papah sama Mamah. kita mending maafin Gina ajah sekarang, lagian kan niatnya cuma bercanda." ajak Ana sambil menarik tangan Aksen untuk pergi menjauh dari sang Gina.

Namun belum senpat Ana dan Aksen berjalan jauh dari arah taman. Gina mendorong Aksen dengan keras, sehingga terjatuhlah Aksen di tengah jalan raya, karena pada saat itu Ana dan Aksen memang berada dipinggiran jalan raya, dan hendak menyebrang. Sehingga akhirnya..

Cittt.. Brakkkkkk..

Sebuah truk bermuatan berat melaju cepat kearah Aksen dan berhasil membuatnya terlempar jauh dari tempatnya sebelumnya.

Tentu saja Ana menangis histeris, dan sang pelaku langsung mematung seketika.

Dan sedetik kamudian, seseorang menampar Ana dengan kerasnya. Ana  langsung menoleh, dan mendapatu Mamahnya dengan wajah penuh emosi dan air mata yang mengalir dipipinya.

"Mamah nggak nyangka sama kamu, kamu tega mencelakai Kakakmu sendiri."

"Bukan.. Bukan Ana Mah, dia yang mencelakai Kak Aksen." jawab Ana terbata-bata dengan menunjuk Gina. Tentu saja Gina menggeleng-geleng cepat.

"Bukan Gina Tante, Ana yang tadi ngedorong Aksen ke tengah jalan Tan. Tadi kan Gina lagi main tuh sama Aksen, tiba-tiba Ana ngedorong Gina sampai jatuh. Terus kan Gina nangis dan Aksen minta Ana buat minta maaf, tapi dia nggak mau. Alhasil Ana marah dan ngedorong Aksen ketengah jalan. Terus Gina dorong Ana karena emosi, dan keningnya berdarah deh." bela Gina dengan wajah polosnya, tentu saja Ana kaget seketika. Dan berakhir dengan tangisan tak terima, karena tak bisa membela diri lagi.

"Setelah ini, saya ingin kamu angkat kaki dari rumah. Dan mulai detik ini juga, kamu saya anggap bukan anggota keluarga kami lagi. Dan satu hal lagi, saya akan kirim kamu ke panti asuhan dan menjadi anak yatim piatu sekarang juga, karena saya bukan orang tuamu lagi?!" bentak Mamahnya seketika.

Flashback Off

Entah mengapa ketika Ana sedang mengingat semua kejadian yang paling dibenci itu. Malah justru memori masa lalunya semakin menguap.

Sungguh ketika ia ingin melupakan semuanya, justru yang datang hanyalah bayang-bayang masa lalu, yang nantinya akan membuat dirinya menjadi terpuruk pada akhirnya. Dan berakhirlah ia dalam tangis dan diam pada hari gelap yang begitu panjang datangnya.

Berulang kali Ana berusaha untuk menutup mata, namun tetap saja semua yang dilakukan hanya kemustahilan semata. Dan tetap saja Ana mengingat semuanya, teriakan-teriakan frustasi dari mulutnya pun tak bisa dicegah olehnya.

Ia menangis yang kesekian kalinya setelah itu. Sekaranv ia terduduk lemas diatas dinginnya lantai kamar apertemen nya itu. Ia terus menjambak-jambak rambutnya dengan kasar, dan ia terus membenturkan kepalan tangannya di kerasnya lantai.

"Untuk apa gue hidup lagi, jika gue harus berdiri sendiri!" serunya dalam tangis air mata.

Prankkkk..

Ia berhasil memecahkan cermin riasnya dengan tangan kosong.

"Dan untuk apa kalian kembali, ketika dengan teganya kalian memaksaku pergi dari kehidupan kalian lagi. Sudah cukupkah kalian menghukum seseorang yang sama sekali tidak berdosa! Tetap saja jika kalian menginginkanku kembali,  pecahan kaca yang memang sudah tersebar luas, tak dapat kembali kedalam bentuk semula meskipun itu menggunakan perekat!"

Prankkkkk..

Ponselnya yang berada di meja belajarpun, tak luput dari emosinya yang semakin meluap.

"Dalam hati gue mungkin masih terselip nama kalian dengan erat di sana. Namun rasa kecewa itu tak dapat membuat gue memilih untuk mendekat kembali kepada kalian lagi. Hidup tak selamanya untuk menderita bukan?" lanjutnya dengan darah yang terus mengalir segar.

Dan tanpa sadar, akhirnya ia tertidur di atas dinginnya lantai, sekaligus ditemani oleh banyaknya pecahan kaca yang berserakan dimana-mana.

*****

1040 Kata.

Instagram: @vaa_morn01

S.A.D In A Life (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang