"Papah denger kabar kamu bolos ya hari ini?" tanya Papahnya yang mulai meninggikan volume suaranya.
Ana mengangguk lemah, mengiyakan saja apa yang menjadi kesalahannya. Toh, baru kali ini ia berani melakukan. Selebihnya, ia selalu menjadi good girl di sekolah.
"Mau jadi apa kamu, kalau kamu sering bolos!" seru Papahnya lanjut.
Ana yang sedari tadi memainkan jarinya, langsung melotot tak percaya. Ia tak terima jika disebut-sebut sebagai tukang bolos. Dalil dari mana Papahnya, sehingga bisa mengatainya yang tidak-tidak.
"Papah udah nuduh aku sering bolos? Apa buktinya coba? Ana baru kali ini bolos, bukan setiap hari Pah." bela Ana langsung.
Papahnya berdecih. "Ngaku saja Ana. Papah nggak suka kamu berbohong! Bener kata Gina, orang nggak baik akan selalu sama jika ditekan oleh orang lain."
'What! Gina! Lo ngomong aja sama Papah gue. Mau jadi racun kan lo!' batin Ana kesal.
"Ada kalanya orang yang nggak baik akan berubah Pah. Dia bisa saja merubah sifatnya setiap waktu, dan dia akan memperbaiki dirinya kapanpun dia mau." ucap Ana lagi.
Papahnya hendak melawannya kembali. Namun Ana sudah berlari menuju kamarnya yang sudah sangat dirindukan olehnya. Ia tak peduli lagi dengan jalan pikiran Gina, biarlah ia datang dan memporak-porandakan semua. Ana sudah membiarkan Gina melakukan apapun sesuka hatinya, karena ia benar-benar tidak peduli.
Ana memandangi seluruh isi kamarnya yang berwarna biru laut. Sedikit tenang dengan hatinya yang sudah tak banyak tingkah lagi. Ana mulai merebahkan dirinya diranjang, dan memejamkan mata untuk sejenak.
Tokk.. Tokk..
Ana mendengus kesal. Baru saja ia hampor terlelap dalam mimpi, suara ketukan pintu membuyarkan semuanya.
"Boleh gue masuk?" tanya seseorang dari luar.
Ana menggeram hebat setelah mendengar suara orang itu. Ya, Seorang penganggu yang harus dibasmi, entah kenapa selalu membuat hidupnya tak selalu tenang. Jujur, ia tak suka jika dia disini. Namun apa daya, dia tak ingin dicap durhaka karena melawan orang tuanya.
Ana hanya diam tak menjawab. Jika orang itu tetap akan bertahan, pasti dia akan masuk kekamarnya dengan sendirinya. Dan jika orang itu menyerah dengan sendirinya, maka pasti ia kan segera pergi meninggalkan kamarnya.
Cklekkkk..
Dan benar apa dugaannya. Orang itu masuk tanpa pereetujuan darinya. Biarlah, Ana tak ingin mempermasalahkan orang itu lagi. Yang ada pikirannya kalap, dan menguliti dia saat itu juga.
"Lo bener tadi bolos?" tanya orang itu tak lain Gina. Sudah tak ada aku-kamu lagi, karena kini Gina sudah mengganti bahasanya dengan jelas.
"Apa urusan lo. Gue nggak butuh kepedulian dari lo!" seru Ana dengan ekspresi datar.
"Lo tahu, mulai senin gue bakal sekolah ditempat lo. Gue ada dikelas IPS, bareng Arkan." tutur Gina yang kini sudah duduk tepat di depan meja belajarnya.
"Terus?" tanya Ana sok peduli.
Gina mendengus. Antara ingin menanyakan, atau menjawab. Namun melihat Ana dengan pandangan yang selalu tak bersahabat, entah kenapa ia ingin mengurungkan niatnya.
"Apa hubungan lo dengan Arkan?" tanya Gina yang memberanikan diri.
"Apa peduli lo hah! Mau lo apa sebenarnya?" ucap Ana yang tersulut emosi.
"Kenapa sih lo kayaknya benci banget sama gue!" seru Gina yang tak terima.
Ana benar-benar kesal. Ia tak ingin melukai orang di depannya, namun entah kenapa emosinya tak tertahankan.
"Lo tanya kenapa? Tanya dengan diri lo sendiri! Adakah yang salah dari diri lo, lo itu butuh intropeksi diri!" ucap Ana lalu menutupi wajahnya menggunakan bantal, dan berusaha untuk memejamkan mata.
Sedangkan Gina? Ia keluar dari kamar Ana dengan menggerutu kesal. Apa salah ia ingin bertanya? Sepertinya tidak. Jadi apa salahnya sekarang?
____
Pagi telah tiba. Bahkan semburat wana menyerupai jingga telah berada diufuk timur. Ayam jantan saling bersahut-sahutan mengantarkan pagi dengan penuh warna.
Ana terbangun, lalu menatap ponselnya dalam diam. Tak banyak tingkah, ia hanya menggeser lockscreen nya berulang-ulang. Dan itu terus terjadi, sampai sebuah alarm meramaikan tempat tidurnya.
Ana beranjak bangun, lalu bersiap untuk mandi. Setelah itu, ia mulai mengambil buku-buku pelajarannya yang hendak dibawa ke dalam tas. Dan setelah dirasa siap, ia mulai berjalan keluar kamar seperti biasanya.
Di ruang makan, tepat tubuh Ana berhenti, semua tengah berkumpul bersama. Mereka terlihat bahagia, Ada Devon juga sana. Hanya saja, tak ada dirinya dan juga Aksen sebagai pelengkapnya. Alissha pun turut serta duduk di sana, di samping Gina yang terus mengobralkan candaannya.
Entah kenapa Ana melihat itu semua terasa perih. Sepertinya mereka tak terlalu menganggap Aksen penting, atau mungkin Ana? Ana menggeleng cepat, berusaha menepis pikiran jeleknya itu. Ia berjalan pelan, lalu duduk begitu saja di hadapan Alissha yang sedang melontarkan senyum kepadanya.
"Ana mau makan apa?" tanya Alissha yang terus melontarkan senyum.
Bukannya menjawab, Ana memilih untuk mengedarkan pandangannya kesekeliling. Ada Devon yang turut serta tersenyum kepadanya, sedangkan yang lain? Ana tak terlalu mengerti dengan tatapan mata yang susah untuk diartikan itu.
"Apa saja Mba. Tumben baru kesini?" tanya Ana basa-basi.
"Baru ada waktu Na." jawab Alissha seadanya. Mungkin sedang menjaga nama baik didepan para calon mertuanya.
"Iyalah, yang sudah jadi sarjana mah sekarang santai. Oh ya, rencana nikah kapan? Kok Ana nggak tahu." ucap Ana lagi.
Pipi Alissha langsung merona. Sedangkan Devon, menatap Alissha dengan penuh cinta. Ana hanya memandangnya kesal, mungkin karena Alissha tak perlu malu-malu dalam keadaan tak tepat ini.
"Kita punya rencana nikah dua minggu lagi Na. Doain Abang aja ya." ucap Devon yang menjawab pertanyaannya.
Ana hanya mengangguk saja. Lalu berusaha makan dalam keadaan tenang. Tak ada yang ia lakukan selain diam, sedangkan yang lain terus melontarkan candaannya.
"Ana, kamu nggak bolos lagi kan?" tanya Papahnya tanpa ada senyuman.
Ana mendengus, lalu mengangguk setelahnya. Sepertinya, ia harus terbiasa dengan sikap baru mereka saat ini.
"Ana berangkat sekolah dulu. Assalamu'alaikum." pamit Ana kepada semuanya.
Tanpa menunggu jawaban, ia langsung bangkit dari duduk dan menenteng tas nya keluar rumah. Belum saja ia mencapai gerbang, suara Gina memanggil dirinya menghentikan langlahnya.
"Ana." panggil Gina setengah berlari.
Ana mendongak, lalu menatap Gina dengan penuh tanya. "To the point, kenapa?"
"Boleh nggak gue pinjam tas lo yang ada di lemari kamar lo itu. Gue nggak punya tas yang kayak gitu, pinjemin ya." pinta Gina.
Ana mencoba untuk tersenyum, namun sinis jika dilihat. Entahlah, kenapa Ana tak bisa bersikap baik untuk sesaat saja kepada makhluk di depannya itu.
"Jadi, lo tanpa izin buka-buka lemari gue. Terserah lo aja sana, satu hal yang harus lo tahu, jaga barang itu dan jangan sampai rusak!" seru Ana yang mencoba untuk berbaik hati. Walaupun sebenarnya ia kesal dengan Gina yang ingin mengetahui semua tentang dirinya itu.
"Terimakasih." ucap Gina antusias, lalu berlari menuju kedalam rumah lagi.
Ana tersenyum sinis. Ia ingin menolak sebenarnya, namun Ana tak ingin Gina mengadu yang tidak-tidak kepada orang tuanya. Biarlah Ana tak peduli lagi. Biar waktu saja yang menjelaskan.
*****
1055 Kata.Instagram: @vaa_morn01
KAMU SEDANG MEMBACA
S.A.D In A Life (Completed)
Novela Juvenil(Pertama kali buat. Ini cerita ter absurd yang pernah aku buat, mohon dimaklumi) Terkadang kita bisa kuat seperti batu. Namun dibalik itu, masih tersimpan kerapuhan yang berakibat layaknya sebutir debu. S.A.D In a Life (Stone And Dust In A Life) __...