Ana berjalan pelan menelusuri gang rumahnya dengan earphone yang terpasang ditelinganya. Cuaca diatas langit cukup terik untuk siang ini, membuat Ana lebih lama meneduhkan diri disetiap perjalanan dari sekolah menuju rumah hari ini.
Arkan sibuk, itulah mengapa Ana tidak pulang bersamanya. Entah apa yang disibukkan Arkan dengan Papahnya, mungkin semacam bisnis dasar yang tengah dipelajarinya secara sungguh-sungguh untuk kehidupan yang akan menjadi masa depannya.
Aksen pun pergi entah kemana. Sebelum bel sekolah dibunyikan, Aksen sudah tak terlihat batang hidungnya lagi diparkiran. Menunggunya saja tidak, apalagi mengabarinya walau hanya sebatas pesan singkat. Terdengar kabar bahwa Aksen tak terlihat disekolah, bahkan tanpa memberikan keterangan kepada para sahabatnya. Sedangkan Ana lebih memilih untuk bungkam, dan mengatakan bahwa Aksen hanya bolos biasa.
Kini ia telah sampai di depan rumahnya. Seakan penjaga rumahnya memiliki kadar kepekaan tinggi, sang satpam pun langsung membukanya dengan senyuman tulus. Sehingga mau tak mau, Ana membalasnya sebagai rasa sopan dari anak muda keseseorang yang lebih tua.
"Papah nggak bisa ngatur-ngatur hidup Aksen lagi, jika Papah masih belum bisa ngertiin Aksen sepenuhnya!"
Ana yang hendak meraih gagang pintu pun lebih memilih untuk mengurungkannya. Ia tak ingin terlibat secara langsung sebagai penonton, rasa-rasanya ia tak sanggup melihat orang-orang tersayangnya, saling melemparkan luka tanpa beban.
"Kamu ngebangkang Papah hah! Udah mau jadi gelandangan sekarang?!" bentak Papahnya tak kalah pedas.
Ana memegangi dadanya yang terlihat sakit. Pedih rasanya, ketika peristiwa ini terjadi karena hal biasa saja bagi Ana. Entah apa yang membuat Aksen membesar-besarkan semuanya. Mungkin karena Aksen yang berakhir kecelakaan dan koma sampai dua tahun karena orang yang sama dari masalalunya, dan itu adalah Gina.
"Jika Papah terus-terusan begini. Dengan senang hati, Aksen akan angkat kaki dari rumah ini!" seru Aksen dengan perlawanan yang begitu sengit. Sudah tak ada gentar lagi untuk menahan semuanya. Sepenuhnya, ia telah terbakar oleh rasa emosi yang begitu luar biasa.
"Untuk itu, silahkan angkat kaki dari rumah ini sekarang. Dan tinggalkan semua fasilitas yang Papah kasih ke kamu, termasuk ponsel kamu!"
Deg...
Ana sudah tak tahan lagi. Air matanya turun begitu saja, ketika Papahnya mengatakan kalimat yang tak pernah terbayang seumur hidupnya.
Sepertinya tak ada mencegah, mungkin menerima keputusan Papah secara utuh. Dan apa-apaan ini! Ana tak mungkin bisa melihat keadaan Aksen kedepannya seperti ini dengan tatapan yang sangat kosong, dan melewatinya begitu saja tanpa sadar.
"Bang Aksen..." lirih Ana, yang sudah tak tahan lagi untuk menahan air matanya.
Tak butuh beberapa detik, Aksen yang sadar dengan lirihan Ana, langsung berbalik dan memeluknya. Rasanya seperti pelukan terakhir sebelum keduanya sama-sama terpisah.
"Heyyy, Adek Abang nggak boleh cengeng. Senyum dong." hibur Aksen tanpa ada rasa sesal dalam matanya. Ia juga menitikkan air mata, namun tak lama ia langsung menghapusnya secara gesit.
"Abang kenapa pergi karena masalah sepele seperti ini. Sepatutnya Abang menerima keputusan Papah, walaupun nggak suka. Please, tetap stay bareng Ana di tempat ini." jawab Ana dengan nada sesenggukan.
Aksen memeluknya lebih erat. Entah kenapa rasanya sakit mendengar Ana mengatakan itu. Sejujurnya dari lubuk hati, dirinya tetap ingin di sini dengan adiknya. Namun rasa sakitnya sudah meluap dan memecahkan egonya, hingga secara tak sadar egonyalah yang menguasai kendali otaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
S.A.D In A Life (Completed)
Teen Fiction(Pertama kali buat. Ini cerita ter absurd yang pernah aku buat, mohon dimaklumi) Terkadang kita bisa kuat seperti batu. Namun dibalik itu, masih tersimpan kerapuhan yang berakibat layaknya sebutir debu. S.A.D In a Life (Stone And Dust In A Life) __...