Ana berada di kelasnya saat ini. Lagi-lagi karena persiapan pensi untuk HUT Sekolah, semua guru diharuskan rapat saat itu juga, dan ruangannya pun kedap suara, karena tak bisa diganggu ketika rapat dilaksanakan. Ana sudah sedikit tersenyum hari ini. Aksen pun sudah berangkat sekolah hari ini.
Kemarin Aksen jadi pulang dari rumah sakit. Tapi Aksen tak ingin kembali ke rumahnya. Berkali-kali Ana memaksa, tapi Aksen tak mempedulikannya. Alhasil, Aksen kemarin tidur di Apertemen yang masih menjadi miliknya itu.
Untuk acara Pensi, Ana sudah menyiapkan salah satu lagu yang nantinya akan dibawakan olehnya. Tapi bukan berarti Ana sedang menyiapkan dirinya untuk pensi nanti, nyatanya ia sedang sibuk membaca novel yang sesekali terkikik pelan.
Tak lama, seseorang masuk ke kelasnya dengan napas yang tersenggal-senggal. Masih setengah berlari, orang itu menghampiri Ana dengan napas memburu. Tentu saja Ana mengernyit heran, pasalnya orang itu adalah Azka. Sedangkan Azka bukan salah satu anggota dari kelasnya.
"Na." ucap Azka yang terus menetralkan degub jantungnya.
Ana tentu saja heran dengan Azka. "Kenapa?"
"Ga.. Gawat Na." lanjut Azka yang terus tersenggal-senggal itu.
"Kenapa?" tanya Ana lagi.
"Ga.. Ga.. Gawat Na." jawab Azka lagi.
Ana kesal setengah mati. Tentu saja ia sangat geram.
"Gawat kenapa?!" semprot Ana langsung.
"Ak.. Aksen.. Di lap.. Lapangan." ucap Azka yang napasnya masih memburu.
"Aksen di lapangan kenapa?" tanya Ana yang berusaha untuk bersabar.
Azka menghirup napas panjang-panjang, dan menghembuskannya. Setelah itu wajahnya tergantikan dengan rasa panik yang menerpanya.
"Berantem sama Arkan." ucap Azka cepat.
Sekejam Ana langsung berlari meninggalkan Azka yang terus memegang dadanya. Ia tak peduli lagi dengan semuanya, hanya Aksenlah yang sekarang berada di pikirannya. Baru kemarin Aksen keluar dari rumah sakit. Ya Tuhan!
Ana menghentikan langkahnya, ketika banyak murid yang berkumpul untuk menyaksikan pertunjukkannya. Pantas saja, tak ada siapapun di dalam kelasnya. Semua orang berada di sini rupanya.
Ana menghembuskan napas pelan. Lalu dengan cepat, Ana menyingkirkan orang-orang yang menghalangi jalannya.
Protes. Ya banyak yang protes dengan ulah Ana. Namun Ana tak mementingkan, ada Aksen yang harus dipentingkan olehnya dan segera ditolongya.
Tepat ketika ia berada di depan, Ana melihat Aksen yang sudah tersungkur di lantai. Tentu saja Ana langsung menangis pada saat itu juga.
"Maksud lo apa hah?! Lo emang sahabat terbangsat yang gue punya." kesal Arkan yang masih memukuli Aksen dengan membabi buta.
"Gue? Nggak kebalik! Nggak sadar diri lo, intropeksi diri dong. Punya kaca kan?" ucap Aksen yang masih santai.
Ana tentu saja merasa ngeri dengan keadaan Aksen saat ini. Tubuhnya sudah banyak yang membiru akibat pukulan keras. Tentu jangan lupakan tentang tangan Aksen yang masih banyak luka dan belum kering. Luka-luka itu membuat banyak darah disekujur tubuhnya.
Bukan hanya Ana saja yang merasa ngeri, semua orang yang menonton pun sama dengannya. Semua orang merasa kasihan dengan Aksen, namun tak ingin ambil resiko. Karena tentu saja, Arkan adalah anak dari pemilik sekolah.
Ana menatap Galih, dan lainnya. Mereka sama sekali tak melerai keduanya. Ia langsung berlari, dan menghalangi Arkan yang terus memukuli Kakaknya tanpa berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
S.A.D In A Life (Completed)
Teen Fiction(Pertama kali buat. Ini cerita ter absurd yang pernah aku buat, mohon dimaklumi) Terkadang kita bisa kuat seperti batu. Namun dibalik itu, masih tersimpan kerapuhan yang berakibat layaknya sebutir debu. S.A.D In a Life (Stone And Dust In A Life) __...