Kini pagi telah datang lagi. Namun Aksen, masih saja belum ada perubahan. Setiap saat dan setiap waktu ketika suasana sangatlah sepi, pasti ada saja yang ia lakukan dibatas nalar, dan membuat Dokter sekaligus para suster yang menjaganya merasa lelah berfrustasi. Ana saja yang melihatnya dari jarak jauh, selalu saja merasa sakit. Apakah sudah separah ini?
Ana hanya mengawasi Aksen dari ambang pintu yang di dalamnya terdapat Kakaknya yang terbaring lemah. Ia tak berani mendekat ketika Aksen sendiri masih dalam terjaga sepenuhnya. Sungguh ia takut jika Aksen menagih janjinya, yang akan membawanya pergi dari sini.
Ketika Aksen berada dalam pengaruh obat penenang, maka itu adalah waktu yang tepat baginya untuk mendekat. Ana selalu bercerita, tertawa, meskipun Kakaknya sendiri tak pernah merespon saat itu. Namun itu lebih baik, ketimbang ia hanya memendam sakit itu seorang diri.
Bel istirahat telah dibunyikan beberapa menit yang lalu. Namun lagi dan lagi, para penghuni IPA-1 tak ada yang keluar. Begitupula dengan Ana, karena saat ini mereka tengah berdiskusi untuk acara pensi yang nantinya akan diadakan.
"Na, lo mau kan ngrayaiin pensi untuk HUT Sekolah kita. Gue tahu suara lo bagus, please gue mohon ikut ya Na." pinta Ketua Kelas yang sedari tadi tak bosan menganggunya, Jihan namanya. Dan ia sama sekali tak menyerah untuk memaksa Ana.
Ana lagi-lagi menggeleng.
"Please, jangan gue. Masih ada yang lain kan! Lo minta aja yang lain, jangan ke gue." tolak Ana halus.
Jihan cemberut. Begitupula dengan yang lainnya. Kali ini Shasa berada di depannya, dan menatap Ana dalam.
"Please, hanya lo harapan satu-satunya kita. Tolong." pinta Shasa selanjutnya.
"Iya Na, kami mohon sama lo." semua orang menyahuti.
Ana menghembuskan napas panjang. "Ok, fine."
Semua orang bersorak riang. Lalu kembali kepada aktivitasnya masing-masing. Ada yang bermain ponsel, makan bekal yang dibawa dari rumah, ataupun mereka yang pergi ke Kantin.
Dinda dan Maudy datang membawa nasi bungkus yang tadi dibelinya dari kantin. Lalu membagikan pada Shasa dan Ana yang memang tengah menyibukkan diri masing-masing.
"Gini dong, kan kenyang perut gue nanti." ucap Shasa girang.
Maudy menggeleng pelan. "Lo mah perut karet. Sekalipun lo udah kenyang, ada makanan sedikitpun lo langsung embat."
Shasa terkekeh, sedangkan Dinda hanya tersenyum tipis. Tak lama, Dinda menatap Ana dalam diam. Seperti ada sesirat luka, namun tak bisa diungkapkan olehnya. Ia ingin sekali membantu, tapi dia tak mungkin memaksa Ana secara langsung.
"By the way, gue tadi lihat Arkan sama Gina anak baru yang lagi berduaan di kantin. Emang lo udah putus sama Arkan?" tanya Dinda memberanikan diri.
Ana menerawang jauh. Apakah dia sudah putus denga Arkan? Sepertinya mereka masih terikat sebagai sepasang kekasih. Tapi Arghhh... Ana tak tahu itu dan ia pun juga sudah tak peduli lagi dengan itu semua.
Ana tersenyum kearah sahabatnya, lalu menggeleng. Tapi setelah itu, Ana langsung pergi dari hadapan para sahabatnya entah kemana.
Shasa meletakkan sendok yang baru diambilnya. "Gue udah nggak nafsu lagi buat makan. Rasa-rasanya hambar kayak nggak ada kehidupan."
Maudy mengangguk.
"Gue yakin Ana lagi punya banyak masalah. Dan kita yang memang menjabat sebagai sahabatnya, nggak bisa melakukan apa-apa selain diam. Sebenarnya Ana anggap kita apa sih!" ucap Maudy yang setelahnya juga ikut terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
S.A.D In A Life (Completed)
Teen Fiction(Pertama kali buat. Ini cerita ter absurd yang pernah aku buat, mohon dimaklumi) Terkadang kita bisa kuat seperti batu. Namun dibalik itu, masih tersimpan kerapuhan yang berakibat layaknya sebutir debu. S.A.D In a Life (Stone And Dust In A Life) __...