Kini hari telah berganti. Ana yang sedari tadi sudah siap dengan seragam sekolahnya untuk hari ini pun, sudah bersiap untuk pergi ke sekolah.
Tak ada rasa semangat dari raut wajahnya. Bahkan matanya pun membengkak karena hampir semalaman ia benar-benar terjaga sesuai dugaannya. Ia bergegas untuk keluar dari kamarnya, karena merasa sesak ketika kembali mengingat kejadian kemarin.
Namun sebelum ia menuruni anak tangga, ia memilih untuk berbelok pergi ke kamar Aksen yang berada tak jauh darinya. Mungkin, karena tak ada interaksi yang mereka lakukan dari kemarin. Ana memilih untuk mendekam diri di kamar, sedangkan Aksen? Ana tak tahu dengan keadaan Kakaknya hingga saat ini.
Dan sampai sekarangpun, Ana masih tetap berdiri tepat di depan pintu kamar Aksen. Antara ragu-ragu dan ingin tahu, mungkin bercampur menjadi satu. Namun nyatanya, Ana memilih untuk berbalik dan menuruni tangga bersiap pergi kesekolah.
Tepat pada pintu utama, langkah kakinya kembali berhenti. Dan mendapati sang kekasih yang berpelukan mesra dengan seseorang yang dianggap sahabat olehnya. Ya, Arkan dan Gina tengah saling berpelukan tanpa adanya beban sedikitpun. Lagi???
Ana mendesah, ia memilih untuk berjalan saja melihat mereka yang terus bermesraan di depannya. Namun sebelum ia melakukan niatnya, tangannya dicekal oleh Arkan. Mungkin ia menyadari keberadaan Ana yang berada disekitarnya.
"Kenapa? Gue nggak bakal ganggu lo yang sedang reuni kok. Tenang saja." ucap Ana santai.
Ana tau, tak ada tatapan bersahabat lagi dari mata Arkan. Untuk itu, ia juga memilih menjadi dirinya sendiri yabg apa adanya.
"Kamu berubah." ucap Arkan kemudian.
Ana mendengus. "Mana yang berubah? Gue nggak paham!"
"Apa yang kamu lakukan ke Gina kemarin itu keterlaluan. Kenapa kamu bisa sejahat itu!" seru Arkan.
Ana tersenyum sinis. "Kenapa lo nggak suka? Halaman mana yang terlihat keterlaluan di mata lo? Gue jahat kan? Lo baru sadar kalau gue nggak punya hati.
Arkan tersenyum sinis.
"Dia sahabatku Na. Pahamilah itu!" ucap Arkan lagi.
"Karena gue paham, jadi gue tahu mana privasi dan mana yang umum. Bilangin sama sahabat lo, intropeksi diri sebesar-besarnya mulai detik ini. Ehhh, bodo lah gue ngomong sama lo! Itu pasti nggak bakal pernah mempan." balas Ana yang bersiap untuk melangkah, namun dicekal kembali oleh Arkan dengan tangan kananya.
"Aku belum selesai ngomong!" seru Arkan kesal.
"Bodo! Gue nggak peduli."
Ana berlaku meninggalkan Arkan dan Gina yang tetap tak bergeming di tempat. Tak jauh mereka, terlihat ada seseorang yang mengepalkan tangannya penuh emosi. Siapa lagi kalau bukan Aksen.
Namun, belum saatnya Aksen memberi balasan. Ada saatnya ia diberi waktu untuk membalas semua. Ia juga turut berlalu dengan menggendong tas punggungnya dengan jaket yang ia sampirkan dilengan kiri.
_____
"Na, tumben lo kesiangan." ucap Maudy yang setiap hari duduk sebangku dengannya.
"Gue mampir dulu tadi, jadi ya telat gini." jawab Ana yang memang sedikit berbohong. Ia kesiangan lantaran mununggu bus di halte, namun tak kunjung datang. Alhasil, ia menyepakatkan diri untuk berjalan kaki saja.
Maudy mengangguk-anggukan kepalanya lagi. Laku mengambik buku catatan yang berada di dalam tasnya, karena pada saat yang bersamaan bel masuk juga dibunyikan.
"Oh ya, Shasa sama Dinda kemana?" tanya Ana yang bingung dengan keberadaan mereka.
"Lagi ke kantin mereka. Katanya lupa sarapan di rumah." jawab Maudy yang kini tengah mencoret-coret bukunya.
Tak lama Ketua Kelas Ipa-1 pun masuk ke dalam kelas dengan suasana kegirangan.
"Guys, pelajaran Fisika nggak ada gurunya. Kosong kita hari ini." teriak ketua kelas itu girang.
Semua orang pun bersorak kegirangan. Mungkin kesempatan langka bagi mereka, toh jarang-jarang ada pelajaran kosong dikelas mereka.
"Oh ya.. Tapi walaupun kita nggak ada guru, kabar buruknya adalah kita dapet tugas dari guru piket. Kerjakan Lks halaman 40 soal pilihan ganda, nanti dikumpulkan." jelas ketua kelas itu lagi.
"Yahhhh, kalau gitu mah sama aja nggak bebas." keluh mereka serempak, sedangkan Ana memilih untuk menjadi pendengar yang baik saja.
Tepat pada saat itu, Shasa dan Dinda masuk ke dalam kelas dengan sedikit mengernyit bingung. Pasalnya semua orang terlihat sibuk mengerjakan soal.
"Btw Na, ada tugas kah? Kok nggak ada guru masuk, padahal kita sudah nyiapin seribu alasan untuk masuk ke kelas." ucap Dinda sembari duduk menghadap Ana dan Maudy.
"Nggak ada guru, tapi sebagai gantinya kita disuruh ngerjain tugas." jelas Ana.
Shasa dan Dinda bersorak riang, mungkin merasa bersyukur karena tak lagi berhadapan dengan guru killer fisikanya.
Ana bangkit dari duduknya, dan membawa buku novel yang dibawanya dari rumah. Maudy dan lainnya tentu saja mengernyit bingung, karena sekarang ada tugas yang harus dikerjakan oleh mereka. Dan Ana sendiri?
"Na, lo mau kemana? Lo nggak ngerjain tugas." tegur Shasa yang masih dilanda kekeyangan itu.
Ana menoleh dan tersenyum.
"Gue udah ngerjain. Tolong kumpulin tugas gue sekalian ya, Lks nya ada di dalam tas. Kalau lo pada mau pada nyontek, silahkan gue nggak ngelarang. Intinya, kumpulin tugas gue setelahnya."
Semuanya mengangguk antusias.
"Siip Na, Thanks ya." ucap mereka kompak.
Ana mengangguk, lalu melenggang pergi setelahnya. Tak ada yang ia lakukan, selain menatap ke depan. Koridor cukup sepi hari ini, mungkin karena sedang dilaksanakan kegiatan belajar mengajar. Dan tentu saja Ana cukup menyita perhatian hari ini.
Dan tepat di depan sana ada Arkan yang juga berjalan sendiri tanpa dampingan dari teman-temanya. Arah matanya terus menatap dirinya. Namun apa pedulinya, mereka pun hanya berpapasan tanpa adanya seutas senyum dari bibir mereka masing-masing.
Ana berhenti ditaman belakang sekolah yang cukup sepi. Ia menoleh kearah langit, yang memang terlihat cerah dari biasanya. Sesekali Ana memejamkan matanya, dan itu sedikit membuat hatinya merasa tenang berangsur-angsur.
"Hai, mantan cupu." sapa seseorang yang membuatnya langsung menoleh karena tertegun.
Nampak, Ada Fiona di sana yang memang sendiri tanpa ada anak buahnya. Ana tersenyum sinis, mungkin membiarkan aura permusuhannya terpancarkan.
"Why? Nggak ada kerjaan lagi lo?" tanya Ana to the point.
"Kenapa? Suka-suka gue dong. Gue Kakak kelas lo, dan lo harus paham itu." ucap Fiona.
"Justru karena lo Kakak kelas, jadi seharusnya sekarang itu, rajin-rajinlah kau berada di dalam kelas karena bentar lagi ujian. Mau nggak lulus lo!"
Fiona tentu saja geram. Sedangkan Ana sudah pergi dari taman itu, karena merasa ketenangannya diganggu. Entahlah, Ana merasa bahwa ia tak harus membuang-buang waktu lagi karena adanya Fiona yang tiba-tiba datang lagi ke hidupnya.
*****
1025 Kata.Instagram: @vaa_morn01
KAMU SEDANG MEMBACA
S.A.D In A Life (Completed)
Teen Fiction(Pertama kali buat. Ini cerita ter absurd yang pernah aku buat, mohon dimaklumi) Terkadang kita bisa kuat seperti batu. Namun dibalik itu, masih tersimpan kerapuhan yang berakibat layaknya sebutir debu. S.A.D In a Life (Stone And Dust In A Life) __...