Aksen menatap seluruh ruangan yang terasa asing itu dengan tatapan kosong. Ia tahu pasti, bahwa sekarang ia berada dirumah sakit. Tapi ia tak cukup tahu, sudah berapa hari ia berada di ruangan ini.
Ana. Adiknya itu, sama sekali tak terlihat setiap kali ia membuka matanya. Jangankan raganya, jejak Adiknya tak pernah terlihat dari pandangan matanya semenjak ia berada di sini.
Aksen mendengus. Sepertinya ia sudah benar-benar sendiri sekarang. Terbukti, Ana sudah tak lagi ada di sisinya. Tak lama, seorang Dokter datang dengan menggenggam stetoskop ditangan kananya.
Dokter itu tersenyum, namun sepertinya Aksen tetap memilih untuk menampilkan wajah datar. Karena tersenyum sedikit saja itu akan terasa sulit, jika Aksen yang mencoba.
"Selamat siang Nak Aksen. Ada keluhan yang ingin kamu tuturkan sekarang?" tanya Dokter itu ramah.
Aksen menggeleng pelan.
"Ya sudah.. Jika tidak ada keluhan, saya pergi dulu ya. Jaga diri baik-baik!" perintah Dokter itu.
Aksen hanya mengangguk, namun belum saja Dokter itu meraih kenop pintu, Aksen mengeluarkan suara ubtuk mencegahnya.
"Dokter?!" panggil Aksen sebelum dokter itu pergi.
Dokter itu menoleh, dan kemudian tersenyum.
"Kenapa? Ada masalah kah?"
Aksen menggeleng. "Apa saya selalu sendiri di sini? Tidak adakah orang lain yang selalu datang menjenguk saya?"
Dokter itu tertawa. Sepertinya menganggap ucapan Aksen lucu. Namun belum saja Aksen memprotes, Dokter itu sudah menunjukkan jam yang sekarang tepat pada pukul dua siang.
"Tak lama lagi, Adik kamu pasti akan datang. Jika tidak berdiri di luar ruangan, ia akan masuk jika Nak Aksen sendiri sedang istirahat atau memejamkan mata." jelas Dokter itu yang kemudian benar-benar pergi.
Aksen benar-benar bahagia sekarang. Ana masih peduli terhadapnya, dan itu akan menjadi semangatnya sekarang.
Ia melengkungkan bibirnya tersenyum. Namun itu tak bertahan lama. Ia langsung memejamkan mata, ketika seseorang yang dianggapnya Ana itu masuk ke dalam ruangan.
Ana meletakkan tas ranselnya di meja samping brangkar. Ada Aksen yang sedang istirahat sekarang, dan itulah yang membuat Ana tersenyum simpul.
Kini Ana duduk dikursi samping pasien. Meskipun keadaannya sangat bisa dikatakan kusut, itu tak membuatnya sama sekali untuk tersenyum. Ia senang melihat wajah damai Aksen ketika tidur, karena pada saat itu, tak akan ada luka lagi yang nantinya kan menyayat habis hatinya.
Sedari tadi wajahnya sudah memerah menahan tangis, bibirnya pun sudah bergetar hebat menahan isak. Namun setelah itu, tangisannya sudah lolos dari matanya dan menimbulkan isakkan terdalam yang belum pernah Aksen dengar sampai saat ini.
"Maafin Ana Bang! Ana nggak bisa lagi untuk bertahan. Maaf! Maaf! Maaf!"
Ana langsung menunduk sambil terisak. Tak pernah menyadari bahwa Kakaknya yang berada di depannya ini, sedang juga menitikkan air mata walaupun dalam keadaan memejamkan mata.
"Jika dunia ini benci dengan Ana, kenapa Ana harus dilahirkan ke sini? Ana nggak pernah meminta lebih pada Tuhan hingga saat ini. Namun kali ini, Ana meminta lebih pada-Nya. Ya, jika Tuhan mengijinkan, sekarang juga tolong ambil nyawa Ana. Biar rasa sakit ini tak terlalu menjadi-jadi."
Aksen menggigit keras bibirnya, agar tak mengeluarkan isak. Walaupun hanya seperti itu, rasa-rasanya ia sangat tersiksa karena tak dapat meluapkan emosinya saat ini juga. Ia terus memejamkan mata, meskipun rasa-rasanya ingin sekali melihat wajah Adiknya yang begitu rapuh itu dan menenangkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
S.A.D In A Life (Completed)
Teen Fiction(Pertama kali buat. Ini cerita ter absurd yang pernah aku buat, mohon dimaklumi) Terkadang kita bisa kuat seperti batu. Namun dibalik itu, masih tersimpan kerapuhan yang berakibat layaknya sebutir debu. S.A.D In a Life (Stone And Dust In A Life) __...