Keesokan harinya disiang hari.
Ana mulai membuka matanya secara perlahan. Dahinya sungguh berkerut heran ketika mendapati dirinya yang sedang tidak berada dikamar apertemennya, melainkan ruangan khas yang berbau obat-obatan dengan segala alat medis yang tersedia.
"Kok gue bisa disini sih? Apa ini cuma mimpi!"
Ana mencoba untuk bangun dari tidurnya. Namun diurungkan niatnya karena merasakan nyeri yang luar biasa diarea perutnya.
"Kamu udah sadar dek?" tanya seseorang yang secara tak sadar kini berada disebelah Ana.
"Alhamdulillah, sudah." jawab Ana dengan hati-hati sekali, takut nyeri diperutnya makin terasa.
"Maaf, tadi Abang keluar cari makanan dulu, tapi nggak jadi. Abang kira Papah sama Mamah udah dateng kesini, nyatanya mereka malah kejebak macet." jelas Devon panjang lebar.
Ana hanya mengangguk mengiyakan. Ia maklum, karena ini berada dilingkup ibukota, yang sudah jelas diisi oleh banyak kendaraann yang super padat.
Ceklek.
"Sayang. Ini aku bawain makanan spesial buat kamu tercinta."
Ana menebak pasti itu suara Alissha. Entah kenapa ditelinga Ana terasa lebay didengarnya.
"Berisik!" seru Ana langsung.
Alissha terlonjak kaget ketika disemprot seketika seperti itu. Namun setelah ia tahu siapa pelakunya, Alissha langsung berlari dengan emosi dan menjitak kepala Ana dengan kerasnya.
"Udah gue bilangin sama lo ya berkali-kali, sopan dikit kek sama yang lebih tua. Kapan lo tobat coba?" cerocos Alissha dengan kerasnya.
Ana hanya meringis kesakitan menanggapi.
"Sayang, jaga bahasa kamu ya." sindir Devon sambil melirik Alissha tajam, dan dibalas cengengesan pelan dari mulut Alissha.
"Tuh dibilangin, ngeyel sih lo. Suara kayak toa mesjid aja dibangga-banggain. Lo nggak pernah sadar diri sih, kalo lo teriak pasti seluruh orang kompleks tutup kuping berjamaah. Udah cempreng, dibangga-banggain punya suara merdu." jelas Ana panjang lebar sambil menutupi kepalanya, takut ia mendapat serangan tiba-tiba seperti sebelumnya.
Namun kini bukan Alissha yang bereaksi, melainkan Devon yang sekali gerakan langsung menarik telingan Ana tanpa ampun.
"Ana, kamu juga jaga bahasana. Sama yang lebih tua itu harus sopan." Nasihat Devon pada adikknya.
"Tuh dengerin." seru Alissha sambil tertawa terbahak-bahak.
Alissha dengan masih tertawa terbahak-bahak mulai mundur sambil memegangi perutnya dengan geli.
Namun baru beberapa saat ia memundurkan diri diselingi tawanya, ia malah menyenggol makanan yang dibawanya.
Prang.
Makanannya tumpah seketika, dan membuat Alissha terdiam seketika. Sedangkan Devon menatap Alissha tajam dengan tingkahnya.
"Hahaha.. Shhhh.. Lo lucu kalau lagi rusuh. Haha.. Shhhh, sakit bang.. Banget.. Haha.. Shhh.. Nggak bi.. Bisa.. Berhenti ketawanya." ucap Ana yang masih ketawa diselingi air yang mengalir dari matanya.
Devon yang mendengar itu pun, langsung menghampiri Ana dengan raut muka khawatir. Ia terus menjaga Ana agar tidak kesakitan lagi, hingga akhirnya Ana tertidur dengan pulas.
"Kamu sih yang, untung bukan pelawak beneran." ucap Devon melirik Alissha yang terdiam mematung.
"Ya udah, kita cari makan yuk. Aku laper." ucap Devon yang kemudian menggenggam tangan Alissha dan berjalan keluar.
Suasana ruang Ana sekarang memang terlihat sepi, namun itu tak berlangsung lama. 10 menit kemudian, terdengar banyak suara gaduh dari Aksen dan kawan-kawan. Bahkan teman Ana pun ada disana. Sehingga membuat tidur Ana terusik, namun ia tetap menutup matanya.
"Oyyy guys.. Udah sih jangan pada galau mulu. Bentar lagi, gue yakin Ana pasti sadar." ucap Azky jengah.
Aksen hanya melengos, sedangkan Arkan mendekati brangkar Ana.
"Please, ayo dong Na cepetan sadar." pinta Arkan pelan.
"Cium aja kali Bos, kayak yang film-film. Siapa tahu jitu." ucap Azky dengan tampang ogebnya.
"Bacot. Korban ftv kali." ucap Azka memandang kembarannya jengah.
"Yehh.. Lu mah sama kembaran sendiri gitu."
Arkan tetap menatap Ana harap.
"Please, bangun. Aku akan kasih apapun sama kamu. Termasuk pabrik cokelat sekalipun." ucap Arkan pelan.
Mendengar kata cokelat, secara refleks Ana langsung membuka matanya.
"Beneran loh ya, lo bakal kasih gue pabrik cokelat." serbu Ana dengan mata berbinar. Sedangkan semuanya menatap Ana kaget tak percaya.
Sedangkan Arkan yang tadinya menunduk langsung menegakkan kepalanya saking kagetnya.
"Kamu udah sadar?" tanya Arkan bingung.
"Udah, dari tadi. Kalian sih ganggu tidur gue. Jadi ya gini gue pura-pura memejamkan mata." jawab Ana kelewat santai, yang akhirnya dipandang kesal oleh Arkan.
"Kamu ya? Kamu bohongi aku. Pokoknya aku nggak akan memberikanmu sepeserpun cokelat ataupun pabriknya itu." sungut Arkan yang meninggikan volume.
Ana menahan tawanya, namun seketika meledak.
"Kamu udah janji. Hahaha.. Shhh.. Su.. Suwer sakit.. Ba.. Nget.. H.. shhhh.." dalam satu detik Ana menitikkan air matanya sambil menahan nyeri diperutnya.
Arkan yang melihatnya pun langsung khawatir seketika.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Arkan dengan raut muka khawatir.
"Nggak apa-apa." jawab Ana sambil memejamkan matanya, berharap sakitnya bisa reda.
Aksen yang melihatnya pun juga tak kalah khawatirnya.
"Kamu tidur aja dek, jangan banyak ketawa dulu. Istirahatnya dibanyakin ya, jangan mikir apapun yang membuatmu ngomong panjang. Jadi sakit kan kayak gini." ucap Aksen sambil mengelus puncak rambut Adikknya, yang dibalas anggukan patuh.
*****
767Kata.
Instagram: @vaa_morn01
KAMU SEDANG MEMBACA
S.A.D In A Life (Completed)
أدب المراهقين(Pertama kali buat. Ini cerita ter absurd yang pernah aku buat, mohon dimaklumi) Terkadang kita bisa kuat seperti batu. Namun dibalik itu, masih tersimpan kerapuhan yang berakibat layaknya sebutir debu. S.A.D In a Life (Stone And Dust In A Life) __...