_______❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤_______
Jangan lupa voment ya..
Happy reading!"Sasa, coba tolong jawab soal nomor 17," perintah Bu Titin, Guru Matematika yang saat ini sedang mengisi pelajaran di kelas XI A.
Sasa tetap bergeming di tempat duduknya dengan tatapan sedikit kosong, sama sekali tidak mendengar perintah yang Bu Titin berikan padanya.
Semua orang yang ada di kelas itu dibuat menoleh karena Sasa tidak merespon, termasuk Icha, teman sebangku Sasa.
"Tak," panggil Icha yang masih belum juga direspon oleh Sasa. "Pitak!" kali ini Icha berseru dengan tangan yang menoyor kepala Sasa dari samping kiri.
Sontak Sasa melotot terkejut ke arah Sasa. "Apaan, sih?" tanyanya dengan wajah yang berganti cemberut.
Icha menunjuk ke arah depan dengan dagunya. "Liat ke depan."
Sasa menghadapkan kepalanya ke arah depan sesuai perintah Icha, terlihat Bu Titin menatapnya dengan tajam penuh tanya. Dia yang tidak tahu alasan kenapa Bu Titin menatapnya seperti itu, kembali menoleh ke arah Icha dengan pandangan bertanya.
"Sejak tadi, Ibu perhatiin kamu gak fokus. Apa yang sedang kamu pikirkan, Sa?" tanya Bu Titin saat Icha ingin membuka mulutnya.
"Saya ..., maafkan saya, Bu. Saya lagi mikirin keadaan di Lombok," tatapan Sasa berubah sendu dengan suara yang lirih.
Kelas tiba-tiba hening setelah mendengar kalimat Sasa barusan. Mereka jadi ikut memikirkannya, keadaan di Lombok. Berita gempa besar di Lombok sudah tersebar di mana-mana, ada yang menanggapinya dengan cuek tidak peduli, tapi ada juga yang memikirkannya dalam-dalam, seperti Sasa yang memikirkannya sejak semalam hingga tidak bisa tidur, bahkan dia sampai menangis.
"Kita doakan mereka agar diberi keselamatan, kemudahan, kesehatan dan pertolongan dari Tuhan," ujar Bu Titin dengan bijak.
Semua kepala mengangguk dengan pandangan tertunduk, mendoakan saudara-saudara mereka yang tengah terkena musibah di Lombok saat ini. Sasa ikut menuduk dengan dalam, air matanya perlahan menetes di pipi mulusnya. Dia segera menyeka air matanya agar yang lain tidak melihat kalau dia tengah menangis.
Sasa menegakkan kepalanya kembali, menatap ke arah Bu Titin yang kebetulan tengah melihat ke arahnya. "Apa saya boleh izin ke kamar mandi?" izinnya dengan suara sedikit serak.
Bu Titin yang melihat wajah Sasa yang memerah dengan kelopak mata yang sedikit basah, yang dia tahu itu adalah tanda seseorang habis menangis pun dengan lembut mengizinkan Sasa untuk meninggalkan mata pelajarannya, lagi pula lima menit lagi bel istirahat berbunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Memories
Teen Fiction[ON GOING, Baby] "Ketika kita mencintai seseorang dan apa yang kita rasakan di awal fase mencintai itu adalah rasa sakit dan kepahitan, percayalah, bahwa di akhir nanti rasa manislah yang akan kita cecap sebagai penyembuhnya." Tetapi apakah benar se...