46. Remuk

100 6 18
                                    

_______❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤_______

Happy Eid Mubarak, everyone!
.
.
.

Happy reading!

🌹

"Bagaimana hidup ini bisa menjadi satu harmoni kalau orang dewasanya saja saling memusuhi. Dengan kanak-kanaknya memilih pergi sejauh dua kali lipat bumi hanya karena satu kesalahan yang dilakukan matahari."

Gilang dan Icha sontak melihat lurus ke arah anak kecil yang kebetulan duduk di meja depan mereka. Anak laki-laki berumur tujuh tahun itu adalah anak laki-laki guru Bahasa Indonesia mereka yang kebetulan ikut ibunya mengajar di kelas.

"Bagus ya, kak?" kata anak itu meminta persetujuan Gilang dan Icha. "Ini Ibu yang bikin."

Dua orang dewasa di sana memusatkan perhatian pada buku yang tengah diketuk-ketuk oleh anak itu, dengan bangga menunjukkan buku karya ibunya. Anak kecil tersebut tidak tahu bahwa dirinya baru saja 'meninju' dua orang di sana. Kata-kata yang diucapkannya pas sekali dengan keadaan mereka, masalah mereka.

"Kamu nyindir, ya?" tanya Gilang tersinggung. Kebetulan guru Bahasa Indonesia mereka sedang keluar, dipanggil Ibu Amanda. Jadi, tentu saja dia berani bersikap sedikit sinis pada anak gurunya itu.

"Nyindir apa?" Anak kecil itu balik bertanya kebingungan.

"Nyindir kita."

"Kakak, aku tanyanya 'apa', bukan 'siapa'. Maksud aku nyindir itu apa? Maaf, tadi aku tanyanya kurang lengkap."

Tugas kelompok yang diberikan oleh guru mereka membuat Icha dan Gilang duduk satu meja. Seharusnya Gilang satu kelompok dengan Marv, dan Icha satu kelompok dengan Sasa karena pembagian kelompok kali ini berdasarkan teman sebangku, tetapi kebetulan teman sebangku mereka sama-sama tidak ada. Jadi, mereka menjadi satu kelompok karenanya.

Mungkin juga kalau anak kecil tersebut tidak memilih duduk di depan mereka keadaan tidak canggung seperti ini. Tiap kata yang dilontarkan tanpa dosa oleh anak itu membuat Icha dan Gilang merasa semakin berdosa.

"Kakak?" tegur anak kecil itu.

"Nama kamu siapa?" tanya Icha dengan nada bersahabat.

"Sinten."

"Ngeselin, ya. Udah jelas yang ditanya dia, malah pake nanya lagi." Hari ini Gilang sedang sensitif, jadi dia mudah sekali kesal dan kehadiran anak kecil itu semakin memperkeruh suasana hatinya.

Icha menyahut, "Lo itu bisa bedain ucapan mana yang pake tanda tanya dan mana yang nggak pake tanda tanya nggak, sih?"

"Maksudnya?"

Dengan kalem anak kecil itu ikut menimpali, "Pertanyaan dan pernyataan."

Icha mengangguk. "Udah jelas anak ini bales pertanyaan dengan pernyataan. Intonasi dia tegas, itu artinya dia ngasih pernyataan. Pernyataan kalau nama dia itu Sinten."

"Oh, jadi nama kamu Sinten, iya?" tanya Gilang untuk meyakinkan keraguannya.

"Engghi."

"Enggak tuh katanya, Kichot."

"Dia ngomong bahasa Madura, Gils," semprot Icha. "Artinya 'iya'."

Gilang hanya bisa mengangguk-angguk sambil terus memperhatikan adik kecil di depannya yang juga tengah memperhatikannya balik. Ketika Gilang menyipit, anak kecil itu juga ikut menyipit. Gilang mendelik dan hal itu juga tetap ditiru. Melihat hal itu, dia pun tersenyum, hanya ingin melihat seperti apa senyum Sinten, yang ternyata begitu menggemaskan.

Bittersweet MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang