28. Timbulnya Cinta

107 18 13
                                    

_______❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤_______

Happy reading!

🌹

Selagi Sasa masih terdiam dengan menyandarkan pipi dan dahinya di pinggiran pintu apartemen yang terasa dingin, Marv dengan santainya melenggang masuk ke dalam.

Terdengar suara televisi yang tengah menayangkan siaran bola. Sesekali suara omelan dan komentar yang ditujukan untuk para pemain terdengar dari penonton yang sedang duduk tegang di sofa.

"Pa," panggil Sasa yang sudah berdiri di samping Marv. Panggilannya itu tidak disahuti oleh papanya karena itu dia mengulanginya lagi dengan sedikit menaikkan intonasinya, berharap kali ini berhasil mengalihkan konsentrasi papanya yang tengah serius menonton bola. "Papa!"

Berhasil. Kali ini papanya menoleh, dengan ekspresi terkejut. "Ada apa?" tanya Louis.

Sasa melirik Marv yang kini tersenyum. Lirikannya diikuti oleh papanya.

Ketika tersadar bahwa tamunya sudah berada di depannya, Louis bangkit menghampiri keduanya.

"Selamat malam, Om," sapa Marv dengan sopan santun yang tidak bisa diragukan lagi.

Sasa berpikir, apa datang malam-malam ke apartemennya, di mana ada papanya, masih bisa dikategorikan sopan santun? Entahlah.

"Selamat malam." Louis balas menjabat tangan Marv dengan tegas. Wajahnya dia arahkan ke arah putrinya, bermaksud bertanya tanpa kata siapa gerangan pemuda yang datang itu. Sasa tidak memiliki kekasih, dia tahu itu. Jadi, tidak mungkin kalau pemuda itu adalah kekasih putrinya.

"Dia ..." Sasa terlihat ragu-ragu menjawabnya. Siapa? Teman? Sahabat? Atau calon ....

"Perkenalkan saya Marvino, Om." Marv memperkenalkan diri.

Marvino. Marvino. Sepertinya Louis pernah mendengar nama itu beberapa kali dari putrinya.

"Saya guru privat matematika-nya Sasa."

Louis ingat kalau Marvino adalah ketua OSIS di SMA Lovely Darling, tetapi kenapa memperkenalkan diri sebagai guru privat matematika? "Apa benar kamu ketua OSIS di SMA LD?" tanyanya, meminta kepastian dan kebenaran.

Dengan rendah hati Marv menjawab, "Benar, Om."

Louis melihat ke arah Sasa dengan ekspresi menggoda. "Ah, jadi ini ketua OSIS yang kamu tak-"

Sasa buru-buru membekap bibir papanya dengan telapak tangan. Bermaksud menghentikan perkataan Louis yang tidak seharusnya diucapkan saat ini, di hadapan orang-nya. Sasa tertawa hambar untuk memecah kebingungan yang Marv rasakan. "Mau minum apa?" tanyanya. Semoga bisa mengalihkan keadaan menjadi normal kembali.

"Terima kasih," Marv tersenyum. "Air putih, boleh?"

"Tunggu sebentar."

Louis mempersilakan Marv duduk setelah Sasa pergi ke dapur. "Sekelas sama Sasa?"

"Iya, Om. Kami sekelas."

"Apa Sasa nakal di sekolah?"

Marv tertawa mendapat pertanyaan tak terduga tersebut. "Sama sekali tidak," jawabnya jujur.

Bittersweet MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang