_______❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤_______
Happy reading!
🌹Gilang langsung lari terbirit-birit keluar kantin. Secepatnya ingin membasuh wajahnya di kamar mandi. Dia tahu Sasa telah melakukan sesuatu dengan pipinya dan itu bukanlah sebuah ciuman. Ciuman yang sebenernya tidak dia harapkan sama sekali. Dia hanya ingin menggoda Sasa. Itu saja.
Marv dan Icha masih menatap Sasa yang masih sibuk memainkan makanannya dengan garpu. Mengabaikan rasa penasaran mereka mengenai alasan Gilang yang tiba-tiba saja berlari keluar kantin.
Icha menatap penasaran, sedangkan Marv menatap santai, tetapi siapa pun yang menatap mata birunya lekat-lekat pasti akan tahu ada suatu perubahan di sana. Hanya berlangsung beberapa detik karena Marv mampu menutupinya secara sempurna.
"Apaan itu tadi?" celetuk Icha setelah keadaan hening beberapa saat.
Sasa bisa mengendalikan diri dengan baik. "Biasa. Gilang, kan, orangnya aneh," dalihnya dengan mengangkat bahunya acuh.
Icha memicingkan mata penuh curiga. "... Dan kali ini lo yang aneh," tambahnya melengkapi kalimat yang Sasa ucapkan.
Keheningan kembali melanda karena Sasa memilih untuk diam. Seakan tidak ada sesuatu yang salah mengenai hal 'tadi'.
Karena memang tidak ada sesuatu yang salah.
Biarlah semua orang mengira bahwa Sasa mencium Gilang. Biarlah mereka semua menilai bagaimana Sasa dengan pikiran yang negatif.
Sasa menimbang penuh keraguan, sebelum akhirnya berbicara. "Kemaren Gilang nolongin gue. Sebelum itu gue janji bakalan nyium orang yang nolongin gue. Dan ternyata dia yang nolong gue," katanya dengan jujur, walaupun ada beberapa yang sengaja tidak ia beberkan lebih lanjut. Termasuk dirinya yang tidak benar-benar mencium Gilang.
"Stranger?" tebak Marv dengan begitu tiba-tiba, hingga membuat Sasa hampir terlonjak di tempatnya.
Sasa penasaran dari mana kiranya Marv mengetahui hal tersebut, tetapi ketika nama Gilang terlintas di pikirannya, dia langsung bisa menebak kalau pastilah Gilang yang membeberkan kejadian yang dia alami kemarin kepada Marv.
"Stranger?" ulang Icha. Keterkejutan mendominasi air mukanya saat ini."Lo diikutin?"
"Gue enggak begitu yakin kalo diikutin, tapi orang itu tiba-tiba ada di belakang gue pas mau ke halte. Gue udah coba berpikiran positif mungkin orang itu juga mau ke halte."
Marv sembilan puluh delapan persen yakin kalau apa yang akan Sasa ucapkan selanjutnya adalah "tapi".
"Tapi orang itu aneh. Seakan-akan dia kenal sama gue." Sasa menatap lurus, menerawang kejauhan. "Dia manggil gue 'sha'. Yang aneh lagi pas dia bilang ke gue 'Jangan pergi. Aku mohon jangan pernah tinggalin aku lagi'." Sasa menirukan gaya bicara orang tidak dikenal itu kepadanya.
"Kamu baru pertama kali lihat orang itu?" tanya Marv pada Sasa.
"Iya."
"Sebelumnya kalian bener-bener belom pernah ketemu?"
Sasa menggeleng yakin pada Marv.
Marv kembali bertanya untuk ketiga kalinya. Saat itu juga dia mendapati kalau dirinya berubah menjadi laki-laki cerewet. "Sama sekali belom pernah ketemu?"
"Sama sekali belom pernah," tandas Sasa. Masih dengan tatapan yang menerawang.
"Kalo gitu mulai sekarang kita pulang-pergi harus terus bareng," putus Icha yang mulai mengerti apa yang dialami oleh Sasa. Dia mendapati firasat tidak enak akan sesuatu yang bisa dikatakan seperti bahaya yang siap mengancam sahabatnya itu. Khawatir.
Bahaya kapan saja bisa datang dan pada siapa pun juga.
"Ide bagus," gumam Marv memuji keputusan Icha, tetapi matanya justru terfokus pada Sasa yang terus mengalihkan wajahnya ke arah lain. Seolah begitu keberatan memandang dirinya atau pun Icha.
Padahal mereka duduk saling berhadapan dan hanya terhalang meja seukuran lima jengkal.
Matv mencoba mengambil alih perhatian Sasa agar tercurah padanya, tidak apa-apa meskipun hanya sedikit. Satu-satunya cara, yaitu bertanya. "Kamu inget gak orangnya kayak gimana? Ciri-cirinya."
Benar saja, sekarang perhatian Sasa sepenuhnya tercurah pada Marv saat mendapat pertanyaan itu. "Inget, tapi enggak banyak."
"Enggak apa-apa. Sebutin yang kamu inget aja."
Sasa mengangguk patuh dan menyebutkan beberapa detail yang dia ingat. "Tipe hot daddy," katanya. Membuat Marv dan Icha terheran-heran karena mendengar kalimat itu. Sepertinya itu adalah hal pertama yang paling Sasa ingat. "tinggi, bule."
"Udah itu doang?" komentar Icha.
"Alis sama bibirnya tebel, giginya bagus."
Icha menggeleng tidak percaya dan penuh keheranan mendengar hal itu, 'giginya bagus'. Sepertinya hanya Sasa, orang yang suka memperhatikan fisik seseorang sampai ke bagian giginya.
Icha menatap Sasa penuh keheranan. Dia tidak ragu menampakkan ekspresi yang seakan mengatakan kalau Sasa melakukan sesuatu yang cukup menggelikan, yang bisa dikatakan sedikit mesum. Tentu saja bagian terakhir itu hanya sebagai gurauan semata.
Sasa berusaha membela dirinya sendiri dan secara tidak langsung meminta agar Icha mengiyakan pertanyaannya. "Kalo ada orang yang ngomong sama lo, lo liat apanya? Bibir, kan? Otomatis juga lo liat ke giginya."
Kontan Marv melemparkan senyum geli pada Sasa yang kebetulan tengah melihat ke arahnya. Dia bisa melihat rona merah pelan-pelan merambati pipi putih gadis itu.
Sasa berusaha mencari sekutu dalam hal ini. Dia tidak ingin merasa terpojok sendirian. "Lo juga kalo lagi ngobrol sama orang gitu suka liat bibirnya, kan?" Dan pertanyaan itu terarah pada Marv, satu-satunya pihak yang saat ini kemungkinan bisa dia andalkan, mengiyakan.
"Enggak juga," tukas Marv yang membuat bahu Sasa langsung melorot tak bertenaga. "Aku lebih suka liat ke arah mata lawan bicaraku. Kayak sekarang."
Sasa berdeham untuk menutupi kegugupannya. Tetapi mendengar kata mata yang diucapkan oleh Marv membuatnya tersadar akan sesuatu yang sebelumnya dia lupakan. Melihat mata. Ya, dia melihat mata orang asing itu dan ...
Sasa tersentak dalam keterkejutannya sendiri. "Matanya mirip banget," ujarnya pada akhirnya. Suaranya hanya terdengar seperti sebuah gumaman pada diri sendiri. Sasa memusatkan matanya pada mata Marv.
"Apa?" tanya Marv
"Bola mata orang itu kayak bola mata lo." katanya pada Marv, masih terus memandang ke arah Marv yang menampakkan ekspresi bingung dalam ketidaknyamanan. setelah dirinya mengatakan kalimat itu. "Sama. Mata kalian sama."
Keyakinan terpancar baik dalam suaranya maupun wajah Sasa.
Tanpa sadar Marv memperlihatkan sebuah ekspresi yang seolah memberitahukan kalau dirinya tidak suka dan cukup terganggu atas pemikiran Sasa yang menyamakan sesuatu yang ada pada dirinya dengan orang lain.
Terlebih orang itu adalah - bisa dikatakan sebagai - penguntit.
TBC
_______❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤_______
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Memories
Teen Fiction[ON GOING, Baby] "Ketika kita mencintai seseorang dan apa yang kita rasakan di awal fase mencintai itu adalah rasa sakit dan kepahitan, percayalah, bahwa di akhir nanti rasa manislah yang akan kita cecap sebagai penyembuhnya." Tetapi apakah benar se...