39. Seperti Keluarga

151 19 16
                                    

_______❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤_______

Halo, Maret!
Jangan kaget.
Aku hanya ingin mendekat.

.
.
.

Happy reading!

🌹

"Gue berharap lo pindahnya ke rumah gue," kata Icha. Karena merasa sepertinya kata-katanya tersebut kurang pas, dia pun mengoreksi. Memperhalus kata-katanya. "Lo bisa pindah ke rumah gue."

Sasa telah menceritakan semuanya pada Icha. Tentang kejadian di kamar hotelnya, tentang dirinya yang terpaksa bertebal muka menginap di rumah Marv dan juga rencananya untuk pindah.

Tak dapat dipungkiri bahwa Icha merasa sedikit kesal karena dia baru tahu satu hari setelah kejadian itu -dan Sasa sudah meminta maaf padanya sebanyak tiga kali karena hal ini. Sasa baru menceritakannya sekarang. Terlebih lagi kesal karena Sasa merasa sungkan padanya, walaupun mereka bersahabat, untuk meminta bantuan di saat keadaannya sendiri mendesak.

Sasa berterima kasih, tetapi tetap menggeleng tidak setuju atas usulan baik hati tersebut. "Gue mau cari tempat lain yang lebih kecil, sederhana, murah, tapi tetep aman dan nyaman," terang Sasa. "Bukan berarti gue bilang rumah lo jauh dari semua gambaran itu. Jujur gue nyaman di rumah lo, Chut, betah gitu rasanya. Beberapa kali gue nginep di rumah lo rasanya nggak mau pulang. Nggak mau pergi dari sana."

"Duit lo banyak ngapain cari yang murah dan-"

"Duit bokap gue yang banyak."

Icha kembali melanjutkan ucapannya yang disela Sasa. "Lo udah punya alesan bagus kenapa harus pindah dan tinggal di rumah gue. Mama seneng banget pas lo main ke rumah apalagi pas nginep, lo sendiri tau itu."

"Cuma mama lo yang seneng, kan?" pancing Sasa.

"Harus banget gue jelasin kalo gue juga seneng, pitak?" kata Icha bersungut-sungut, tetapi kelembutan mengalir dari suaranya. "Gue mohon-mohon begini ke lo buat tinggal di rumah sekarang ini menurut lo apa emang?"

Merasa gembira tiba-tiba membuat Sasa merangkul sahabatnya itu dengan kasih sayang. "Tengkyuu, Ichot," ucapnya disertai kecupan singkat di pipi Icha hingga berbunyi.

Perbuatan Sasa itu tentu menarik perhatian beberapa pasang mata yang ada di kantin, tapi baik Icha maupun Sasa tidak peduli menjadi pusat perhatian, mereka justru tertawa.

Icha sama sekali tidak merasa risi saat dirangkul, dicium dan dipeluk lengannya dengan manja oleh Sasa. Ada perasaan yang timbul di hatinya yang jauh dari perasaan negatif, seperti risi atau pun ingin menjauh, hal yang sering dia rasakan ketika seseorang melakukan itu padanya, tentu saja kecuali mamanya. Dia merasakan kasih sayang untuk Sasa, perasaan ingin melindungi, tetap dekat, setia, dan selalu ada. "Jadi?" desaknya.

"Jadi," gumam Sasa dengan menelengkan kepala dan melempar tatapan jenaka. "Bantu gue beresin barang-barang yang ada di hotel buat dipindahin ke rumah lo."

Walaupun sudah tahu jawaban apa yang akan diberikan Sasa, Icha tetap mendesah lega dan bahagia saat mendengar jawaban Sasa. "Kita butuh anggota tambahan buat beresin barang-barang lo yang seabrek itu."

"Oh?"

"Dan gue tau siapa orangnya." Icha mengedipkan sebelah mata yang membuat Sasa tertawa.


"Mama ada waktu?" tanya Icha setelah diizinkan masuk ke ruang Wakil Kepala Sekolah tempat mamanya berada.

"Waktu mama selalu ada buat kamu, putriku," sahut Amanda seraya bangkit dari kursinya, mendekat ke arah putrinya, Icha, yang berdiri di depan mejanya. Karena Icha masih belum juga bersuara, Amanda bertanya, "Gimana? Gimana? Hm?"

Bittersweet MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang