33. Lagi dan Lagi

98 18 16
                                    

_______❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤_______

Happy reading!

🌹

Marv memandang Sasa dan Sasa juga melakukan hal yang sama. Suara gemuruh di langit menjadi pelengkap suasana saat itu. Langit mulai menggelap, salah satu tanda akan turunnya sang hujan ke bumi. Angin berubah menjadi sedikit lebih kuat, menerbangkan dedaunan kering yang ada di sana. Diam-diam Sasa berharap kalau embusan angin tersebut bisa menerbangkan perasaan rindunya pada mamanya.

Tiba-tiba Marv melontarkan sesuatu yang berhasil membuat Sasa merasakan seolah bumi yang dipijaknya terasa berhenti, mencuri napasnya pergi.

"Kamu udah shalat?"

Itu adalah pertanyaan paling romantis sepanjang hidupnya. Sasa tidak mengada-ada dan berlebihan, pertanyaan tersebut memang terdengar sederhana, tetapi amat romantis di telinganya, selain pertanyaan "rindu aku?". Sasa tidak pernah mendapat pertanyaan seperti itu sebelumnya dan Marv menjadi yang pertama yang melakukannya.

"Belom," jawabnya malu-malu.

"Ayo shalat, habis itu ke kelas," ajak Marv.

Sasa hanya bisa mengangguk dan mulai berjalan di samping Marv menuju masjid sekolah.


✳️✳️✳️

Pak Ali sedang menjelaskan materi Agama Islam dan di luar hujan cukup deras. Jadi, beliau harus berjuang keras agar suaranya tidak teredam suara hujan yang menghantam bumi. "Bahkan tanpa sadar seorang anak bisa menjebloskan orangtuanya sendiri ke dalam neraka. Kira-kira apa penyebabnya?" tanyanya dengan suara sedikit keras ke seisi kelas.

"Anu, Pak." Gilang bersuara. "Anu..."

"Ya, Gilang?" Pak Ali dan juga siswa yang berada di sana merasa tertarik dan menolehkan kepala ke arah Gilang yang terlihat tengah memikirkan suatu jawaban. "Kamu tahu apa penyebabnya?"

"Wah, saya tidak tahu, Pak. Saya menunggu jawaban dari Bapak," sahut Gilang dengan polosnya. Dan menyebalkan.

Tak ayal hal itu menciptakan kegeraman seisi kelas yang sudah memfokuskan seluruh perhatian mereka pada Gilang, yang terlihat sangat meyakinkan akan menjawab dengan benar, tadinya. Semua merasa penasaran akan jawabannya.

"Wo lha, Markemen, ki."

Celotehan Bahasa Jawa dengan logat medok dan juga bernada kesal yang terlontar dari Paeejo itu membuat tertawa seisi kelas. Paeejo memang terkenal karena 'kemedokannya' ketika berbicara dan juga kepolosannya gang tanpa batas tak tertandingi.

"Mar- apa katanya?" Sasa bertanya di sela-sela tawanya.

Icha menyahut. "Markemen."

"Apaan tuh?"

"Itu panggilan sayang si Paeejo buat Gilang." Bola mata Icha menari-nari jail dan suaranya terdengar geli.

Suasana kelas yang dipenuhi tawa menjadi hening saat Pak Ali kembali mengambil alih. "Terima kasih, Gilang, atas jawaban 'hebat' kamu barusan," sindirnya dengan bibir yang tersenyum, sengaja menekan kata hebat di suaranya. "Dan, Paeejo, kamu sangat menghibur. Terima kasih."

Dua orang yang disebut namanya dan mendapat ucapan terima kasih dari Pak Ali hanya mengangguk-anggukkan kepala sebagai respon.

"Lanjut?" pancing Pak Ali.

Bittersweet MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang