55~Pupus~

1.5K 143 26
                                    

Kesunyian malam menyelimuti Julian sambil menggenggam erat pembatas balkon kamar. Tiga hari ini hidupnya terasa hampa. Entahlah, ia yang menjauh atau Olyn yang terlihat selalu sibuk bersama Mauza.

Di setiap saat, kedua remaja itu selalu berjalan bersama, di kantin, perpustakaan dan taman sekolah. Olyn benar-benar memenuhi janjinya kepada Mauza setelah Joshua menceritakan semuanya dari Kania.

Terlebih, setelah ditinggal oleh Melisa, Mauza masih terlihat murung dan lemah. Wajahnya terlihat pucat dan hal itu membuat Olyn panik.

Julian mendongak, menatap langit malam yang terselimuti awan. "Kenapa rasanya sesakit ini?" ia meraba dada kirinya yang nyeri. "Kapan gue bisa dapat kesempatan untuk lo hadir di sisi gue seperti minggu lalu?"

Ia mengenang kembali kebersamaannya dengan Olyn sewaktu gadis itu tinggal di rumahnya.

"Beberapa hari ini, gue melalui semuanya dengan kesendirian. Setiap gue mendekat, lo menghindar begitu cepat saat Mauza tiba-tiba membutuhkan lo."

Penampilannya tidak seperti biasa. Terlihat berantakan dengan rambut cokelat karamel yang tidak tertata rapi dan wajah kusut. Pria itu mendengus sedih, "Penampilan gue persis kayak orang patah hati." ucapnya sendiri. "Ya. Lagi-lagi lo mematahkan hati gue."

Julian mengusap wajahnya kasar. Sulit sekali membuat jantungnya stabil dan mengembalikan suasana hati. Ini di luar kontrolnya, seperti biasa.

"Gue pernah denger. Katanya, jika orang memperjuangkan cintanya namun tidak pernah mendapat respons ia akan jenuh." Julian mengangguk. "... dan gue sedang merasakannya."

Ia melirik balkon kamar yang pernah ditempati Olyn. "Gue hanyalah manusia biasa yang bisa merasakan sakit hati, punya batas sabar, dan batas untuk memperjuangkan cinta."

Julian mengembuskan napas beratnya. "Tapi, rasa cinta gue yang terpupuk beberapa tahun ini terlalu besar untuk menyerah begitu saja. Gue gak akan berhenti untuk menarik perhatian lo, kecuali..." pria itu menggantungkan kalimatnya dan memejamkan sebentar matanya. "... kecuali lo yang meminta."

**

Joshua duduk di bibir kolam renang, memainkan air tanpa ikut menenggelamkan kakinya. Ia terlalu larut dalam lamunan ketika harus melihat wajah penuh kepedihan dari sahabatnya.

"Aku gak tau, tapi Julian begitu terpuruk beberapa hari ini." Kania ikut menyipratkan air dari arah sebaliknya.

Kening gadis itu mengkerut saat Joshua hanya menatap lurus air di depannya. "Josh?"

Kania mengguncang pelan bahu pria itu. Joshua mengedipkan mata berulangkali. "Ah, iya?"

Pria itu kembali mengembalikan kesadarannya. "Maaf Ka, kamu ngomong apa, aku gak dengar?" tanyanya kikuk.

Kania tersenyum tipis. "Aku bicara tentang yang kamu pikirkan."

Joshua menunduk sedih. Ia tahu, Kania adalah kekasihnya, tapi bukan itu masalahnya. Bagaimana pun ia menyembunyikan semua yang terjadi, Kania tetap tahu karena ia memiliki kemampuan antarpribadi dalam memahami seseorang.

Kelebihan itu akan ia gunakan di masa depan. Ya. Cita-cita untuk menjadi Psikolog, sangat selaras.

"Olyn sangat bahagia ada di dekat Mauza. Padahal, dia bisa terlihat lebih bahagia jika bersama Julian." ucapnya menatap dalam manik hitam itu. "Sayangnya, Julian tidak pandai memulai dan lebih sering memupuskan semua hal yang telah terpikirkan Olyn."

Joshua tersenyum paksa. "Kamu gak tau Ka apa yang selama ini dirasakan Julian. Gak ada yang tau di balik hal konyol dan aneh yang dilakukan kecuali beberapa orang terdekatnya."

SOMPLAK PLUS GESREK (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang