64~Pernyataan dan Sebuah Fakta~

1.3K 112 19
                                    

**

"Kamu mau bicara tentang apa?"

Sejak sepuluh menit mereka hanya berjalan menyusuri jalan raya di Desa Winangun. Menikmati suasana malam hari, melihat berbagai jajanan khas yang jarang Julian temui di kota.

Julian meraih pergelangan tangan kanan Azura, menuntunnya menuju bangku jalan yang kosong. Jauh dari hiruk pikuk beberapa waktu lalu. Tempat yang tepat untuk mereka membicarakan semuanya.

Azura merasakan sensasi berbeda ketika tangannya digenggam hangat Julian. Tanpa sadar tersenyum, menatap tangannya yang digenggam.

"Duduk, Ra."

Segera ia mengubah mimik wajahnya merasa malu. Ia menjadi gugup dipandang Julian begitu lurus. "I-ya,"

Pria itu tanpa sadar mengembuskan napas kasar. Memantapkan hatinya dan menerima segala kemungkinan yang terjadi.

"Aku sangat berterimakasih karena Allah telah mempertemukan kita,"

Azura tersenyum tipis, hatinya begitu bahagia mendengarnya—terlebih wajah bersinar Julian ketika mengatakan hal tersebut.

"Kamu gadis pemberani yang pernah aku temui. Untuk kali pertama, kamu menyelamatkan aku dari teman sekolah karena pada kenyataannya mereka hanya memanfaatkan kekayaan orangtua ku."

Julian mulai merasakan kepedihan mengingat hal yang membuat ia benci pertemanan, sebelum ia benar-benar mengenal Joshua.

"Seberapapun aku membuat teman-temanku nyaman, pada akhirnya mereka memang hanya memanfaatkanku, tidak mau menerima kehadiranku di tengah-tengah mereka."

Azura mengingat pertemuan pertamanya bersama Julian. Di mana Azura kecil meminta izin kepada Papa nya yang sedang berbincang serius kepada Kepala Sekolah di St. Paulus untuk berkeliling gedung sekolah. Kakinya menuntun ke taman belakang sekolah yang sepi karena jam belajar masih berlangsung.

Tiba-tiba ia mendengar keributan yang diciptakan para siswa di sana. Ia yang sedari dulu telah mengenakan jilbab, langsung menjadi pusat perhatian terlebih melerai pembully-an itu dengan ancaman yang ia buat.

"Ayahku seorang Dubes! Dia sedang berbicara bersama Kepala Sekolah dan aku akan melaporkan semua ini kepada mereka!"

Segerombolan siswa bertubuh tinggi itu menatapnya remeh. Sedangkan siswa yang terduduk sedih di rerumputan membuatnya mencelos.

"Aku berkata serius!" tegasnya dan membuat wajah mereka menegang. "Tindakan kalian sangat tidak terpuji! Berhentilah, sebelum aku bisa saja mengeluarkan kalian dari sekolah dengan relasi yang kuat di antara ayahku dan Kepala Sekolah."

Azura tersadar dari lamunannya saat Julian menjentikkan jarinya tepat di depan wajahnya. "Maaf, Nandish ..." terdengar helaan napas pelan. "Mungkin, jika aku di posisimu, itu terasa berat. Aku terbiasa dengan banyak teman sedari dulu. Aku tidak bisa membayangkan semuanya."

Pria itu tertawa pelan sehingga Azura kembali mendongak. "Hidupku terlalu dikekang. Semua harus sama dan tidak boleh membantah aturan di keluarga ku."

Mau tidak mau, seulas senyum menghiasi wajah cantik Azura, ketika Julian tersenyum manis. Pria itu jadi gemas sendiri melihatnya. Ingin sekali mencubit kedua pipi mulus gadis di sampingnya.

"Terimakasih. Untuk kali pertama, aku percaya saat kamu mengulurkan tangan kepadaku, mengajak berkenalan. Saat itu, aku merasa pantas untuk hidup di dunia. Mampu bertahan, meski hanya satu teman sejati."

Tanpa sadar airmata Azura luruh. Dengan cepat ia menghapusnya. Sesak menghinggapi rongga dadanya. "Maafkan aku ..."

Kata maaf kali ini terdengar lirih. "Aku tau, kepergian ku yang mendadak membuatmu terluka. Aku tidak bisa memilih Nandish. Saat itu, adalah hari terakhir Papa menjabat sebagai Dubes Indonesia untuk Jerman. Kami harus segera pulang dan aku harus kembali melanjutkan sekolah yang telah habis masa liburan."

SOMPLAK PLUS GESREK (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang