11

1K 125 2
                                    

Ku tarik tanganya yang lembut. Bisa ku dengar nafasnya terengah-engah.

"tunggu! Jangan berlari seperti itu."

Tapi dia tak mau mendengar, ia terus berlari dan aku terus mengejarnya. Hingga sudah cukup jauh berlari, langkahnya semakin melambat. Aku mendekatinya yang tiba-tiba berhenti melangkah.

Matanya terbuka lebar memandang kosong. Mecengkram dadanya seperti menahan sakit. Dia tidak berkata sepatahpun, aku bingung hanya menatapnya. Ku sentuh wajahnya ku dekatkan dirinya kepada ku.

"kenapa? ada yang terasa sakit? Sudah jangan berlari lagi!"

"Eren, nafasku sesak..."

Dia merespon dengan suara seperti tercekik.

"suster! Suster! Tolong!"

Aku berteriak panik. Untungnya seorang petugas rumah sakit mendengar dan menghampiri kami tergesa-gesa.

"cepat bawa dia ke UGD!"

Ujarnya tanpa basa-basi, langsung ku pangku dan membawa tubuhnya. Kaki ku berjalan sekencang mungkin agar cepat sampai. Jantungku bergemuruh, dahi ku berkeringat mulai kelelahan karna UGD yang cukup jauh.

Aku menatap nanar dari celah kaca. Saat Crista dibaringkan serta ventilator dipasangkan pada tubuhnya. Semua orang ricuh sibuk menangani. Aku yang diam hanya bisa berharap.

Selang beberapa lama, aku duduk di pinggiran lorong menunggu kondisi Crista, tiba-tiba ponselku berbunyi. Sasha memanggilku.

"ada apa?"

Tanyaku lemas.

"dimana? Jadi mengantar Mikasa pulang?"

Aku narik nafas dalam-dalam entahlah fikiranku sudah sangat kacau.

"di UGD kondisi Crista memburuk lagi, aku tak sanggup meninggalkannya. Maaf ku serahkan Mikasa padamu dan pria itu."

"hmm... apa boleh buat, aku mengerti nanti akan ku sampaikan pada Mikasa. Semoga semuanya baik-baik saja ya."

"emm..."

Setelah telpon terputus, aku masih termenung seorang diri di sana. Berusaha menjernihkan fikiran atas semua kejadian yang telah terjadi.

***

Malam itu pukul 8 Mikasa sampai rumah dengan aman menggunakan mobil Levi. Sasha menuntun Mikasa masuk kedalam rumahnya. Levi mengekor dengan langkahnya yang terasa ragu.

Dia terus khawatir akan respon keluarga Mikasa nanti. Apa dia akan dibenci juga? Dia takut, tapi keadaan akan semakin parah jika Levi tak menampakan batang hidungnya. Dia tidak ingin dianggap pengecut. Apa lagi jika si pak tua terus bersungut-sungut, Levi tidak tahan.

"maaf ya sudah merepotkan kalian, harusnya kami yang menjemput Mikasa."

Ucap seorang wanita menyambut hangat. Ia bersurai pendek berwajah ramah mengenakan apron.

Levi spontan menundukan wajah dan tubuhnya.

"tidak, harusnya saya yang meminta maaf."

Balas Levi membuat wanita tersebut mendekat.

"tidak-tidak, semua ini memang sudah musibah. Tidak perlu di fikirkan, lagi pula Mikasa juga baik-baik saja kan."

"maaf..."

"iya... sudah tidak apa-apa, ayo cepat masuk kedalam. Ibu sudah membuat makan malam, kalian belum makan kan? ayo makan bersama..."

Levi dan Sasha langsung menggeleng sungkan.

"terimakasih, tapi sepertinya saya harus segera pulang."

"aku juga tante. Tidak apa-apa toh tugas kami hanya mengantar Mikasa pulang dengan selamat. Hehe"

"jangan pura-pura. Aku tau kau Sasha! Otakmu mana bisa menolak makanan. ayo cepat masuk ibuku sudah menyiapkannya."

"tap-tapi..."

"cepat!"

Tegas Mikasa sekali lagi. Sasha ragu ingin menolak tapi sepertinya ia tidak bisa. Akhirnya ia-pun mengiyakan.

"kenapa kau diam? Kau juga masuk!"

Kata Mikasa lagi kepada Levi yang mematung di depan pintu. Levi tidak berfikir panjang ia pasrah menuruti.

Mereka akhirnya masuk menuju meja makan dan duduk dengan rapih. Makanan sudah siap tersaji di atas meja. Mata Sasha yang paling berbinar memandang seakan tak sabar untuk menyantapnya.

"bu, ayah mana? Tidak apa makan malam tanpa ayah seperti ini?"

Tanya Mikasa yang sudah siap memegang sumpit.

"ayah pulang terlambat, tidak apa-apa kita makan duluan saja. Ayo makan yang banyak Sasha dan Levi."

Levi mengangguk malu-malu, sedangkan Sasha mengangguk tak tahu malu. Levi membuka masker dan snapbacknya, ia mengusap rambutnya mencoba merapihkan. Ibu Mikasa yang melihat langsung terpana.

"ibu baru sadar jika Levi setampan ini, Mikasa harusnya kau beruntung."

Mikasa terperangah. Ia hampir tersedak.

"ibu apaan sih?! Jangan bicara yang aneh-aneh!"

"memangnya kenapa? ibu menyukainya kok."

Ibu Mikasa tersenyum lebar, Sasha menahan tawa mendengarnya, sedangkan Levi hanya membatu tak tahu harus merespon apa, wajahnya datar sambil tersenyum tipis.

"Levi, rumah mu dimana? Maaf ya tante sudah mengajak mu makan malam di sini, padahal mungkin keluargamu sedang menunggumu. Nanti tante telpon ke rumahmu ya..."

"saya tinggal di daerah Kanto, orang tuaku juga sudah bercerai dan kami tinggal terpisah. Jadi tidak masalah. tidak ada yang menungguku."

"arra? Maaf sudah bertanya dan membuatmu tidak nyaman. Kau tinggal sendiri?"

"ya.."

"ibu tolong hentikan."

Kata Mikasa menggerutu sebelum pertanyaan ibunya semakin mendalam.

"ah~ ibu hampir lupa jika dia artis ya, haha..."

"enak."

Ucap Levi tiba-tiba. Bibirnya tersenyum yang tak pernah di lihat Mikasa dan Sasha sebelumnya. Mereka memandang kagum, mereka tidak percaya jika Levi bisa membuat wajah seperti itu.

"hee? Kau menyukainya? Kalau begitu makan yang banyak sebelum pulang ya!"

Suara ibu Mikasa terdengar sangat ramah mencairkan suasana.

Hingga waktu berlalu dengan cepat, terasa hangat meski canggung. Sasha sangat menikmati makanannya, Levi juga diam-diam ikut menikmati, sebab sudah lama ia tidak makan masakan rumahan.

Menu makanannya sederhana tapi itu cukup membuat Levi terkesan, karna atmosphere-nya yang tidak dapat ia temukan di restoran mahal sekalipun.

***

Hampir dini hari saat malam benar-benar sunyi. Semua orang terlelap kecuali Eren, ia masih setia menunggu kondisi akhir Crista. Setelah kejadian tadi Crista melakukan medical check up seperti biasa.

Ketika berbagai pemeriksaan selesai Crista keluar dari ruangan, lalu di pindahkan ke ruang rawat biasa. Saat itu kondisi Crista dalam keadaan sadar. Eren merasa lega.

"apa kau mengenaliku? Coba ini angka berapa? Ini warna apa?"

"aku bukan gegar otak bodoh!"

Gerutu Crista memanyunkan bibir. Melihat tingkah Crista seperti itu, Eren menghembuskan nafas panjang seolah melepas kegelisahan.

"Eren bisa kau ikut dengan ku sebentar?"

Tanya Tanaka dengan wajah serius. Eren sudah paham jika pria itu ingin mengatakan sesuatu kepadanya.

Attack on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang