22

704 88 11
                                    

Bel apartemen berbunyi dengan cepat Mikasa menuju ke arah pintu, ia berlari kecil dengan wajah girang. Sepertinya apa yang ia tunggu-tunggu sudah datang. Mikasa membuka pintu tebakannya benar, ia melihat seorang kurir tengah berdiri sambil menenteng pesanannya. "Berapa?" "4500 yen." Tungkas pemuda bertopi itu. Mikasa mengeluarkan lembaran uang. "Kembaliannya?" "Tidak usah ambil saja." "Tapi..." "Ambil saja sungguh." Sang kurir mengulum senyum dan membungkuk tanda terima kasih tanpa berlama-lama ia pun pergi.

Sedangkan Mikasa kembali masuk, meletakan tiga porsi katsudon di atas meja. Sengaja ia memesan tiga porsi barangkali pak Manager mau ikut makan bersama mereka. "Siapa yang datang?" pak Manager bertanya was-was. Ia takut Mikasa membiarkan orang asing masuk kedalam apartemen. "Kurir pengantar makanan. Anu... Bapak sudah makan?" "Tidak perlu. Lagipula saya harus segera pergi." "Oh baiklah. Mau pergi sekarang?" Pak manager mengangguk, sambil mengambil coat berjalan menuju pintu. "Bisa kau jaga dia malam ini? Saya harus pulang ke rumah, saya punya keluarga."

Mikasa meng iyakan ia paham tanpa bertanya lebih lanjut. "Nanti saya juga akan ke rumahmu untuk memberi tahu jika kau tidak pulang, dan memastikan kau aman di sini." "Baik saya mengerti." "Terimakasih." Mereka saling melempar senyum sebelum pak Manager menghilang dari pandangan Mikasa.

Mikasa membuang nafas kasar ia berjalan menuju kamar untuk menyuruh Levi makan. "Cepat keluar makanan sudah datang." Mikasa mengintip ke dalam kamar, sedetik kemudian matanya membulat. "Apa yang kau lakukan?!" Mikasa berjalan dengan cepat mengampiri Levi, ia tengah mematung sambil memegang gunting di tangannya. Melihat Levi seperti itu Mikasa langsung berspekulasi yang tidak-tidak. "Kau mau bunuh diri?"

Segera Mikasa tepis gunting itu, ia lempar jauh-jauh benda tersebut hingga terpelanting ke sembarang arah. "Kenapa kau lempar? Ambil lagi cepat." "Kau gila sungguhan ya?" "Apaan sih aku tidak gila, aku hanya ingin mencukur janggutku. Nih lihat." Levi mendongkak memamerkan dagunya yang memang tumbuh janggut cukup panjang, Mikasa melongo seperti orang bodoh, rasa paniknya langsung memudar seketika.

"Kenapa juga harus memakai gunting. Pakai pencukur janggut sana!" "Pencukur janggutku hilang."
"Astaga kau ini. Mencukurnya nanti saja, itu gampang, sekarang kau makan dulu kasihan perutmu."
Mikasa menarik tangan Levi keluar dari kamar, ia menuntunnya menuju meja makan. Menyuruhnya untuk duduk lalu menyantap makanan yang sudah disiapkan.

Tercium aroma lezat, samar-samar ada uap dari katsudon menandakan jika makanan itu masih hangat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tercium aroma lezat, samar-samar ada uap dari katsudon menandakan jika makanan itu masih hangat. Tapi ekspresi Levi hanya diam seperti tak tertarik.

"Kenapa diam? Tidak suka?"
"Hmm..."
"Coba saja dulu. Kan tadi sudah kutanya mau makan apa, kau bilang terserah."
Dengan penuh rasa malas Levi mengambil sumpit, ia dekatkan mangkuk kastudon ke arahnya. Levi tampak tidak selera, tapi apa boleh buat, gadis itu terus mendesak dia agar makan. Mau tidak mau dia menuruti, Levi memasukan suapan pertamanya ke dalam mulut, ia kunyah perlahan. Namun sesaat kemudian ia terdiam, mulutnya berhenti bergerak. "Kenapa? Tidak enak?"
"Yak... bukan. Boleh kumakan yang satunya itu?"
Levi menunjuk satu porsi kastudon pak Manager yang menganggur. "Aku sangat lapar pesankan dua porsi lagi untukku."

Diam-diam Levi menahan rasa lapar yang amat luar biasa, tapi ia tidak menunjukan itu. Namun setelah menikmati suapan pertamanya ia berubah fikiran, nafsu makannya tiba-tiba naik secara drastis.
Mikasa menekan pelipis sesekali karna frustasi. "Apa kau sengaja ingin meledakkan perutmu?"
"Ya?" Pinta Levi lagi. "Iya!"
Terserah saja bahkan jika Levi mati kekenyangan pun Mikasa sudak tidak mau peduli, apanya yang membuat orang itu untuk hidup? Mikasa bukan tuhan. Jika Levi mati ya sudah mati saja, terserah! Yang penting ia tidak ambil pusing untuk membayar tagihan sebab pak Manager sudah memberikannya banyak uang.

"Dengar ya. Kau jangan terlalu suka merepotkan pak Manager. Dia sudah menghabiskan banyak waktu hanya untuk menjagamu."
"Dia bekerja untukku, aku membayarnya jadi sudah sewajarnya jika dia menghabiskan banyak waktu untukku."

"Levi... kenapa kau tidak mengerti juga? Dia itu seorang ayah dia punya tanggung jawab untuk keluarganya. Dia juga pasti ingin menghabiskan waktu bersama keluarganya. Kalau seperti ini terus lama-lama dia bisa kabur darimu."
Levi menggeleng santai, seolah itu bukanlah masalah.

"Dia sudah lama bekerja denganku, aku sudah seperti bagian dari keluarganya juga jadi anggap saja itu adalah hal yang biasa. Jangan khawatir aku juga paham."
"Tapi apa kau tidak sadar? Kau itu merepotkan. Sungguh aku merasa kasihan kepada pak Manager. Kenapa dia harus bekerja dengan orang gila sepertimu."
"Aku tidak memintanya untuk menjagaku, dan aku bukan anak kecil lagi. Dia sendiri yang terus mengawasiku."

"Dasar! Dia melakukan itu karna kau tidak sanggup hidup sendiri. Lihat dirimu, kalau tidak ada pak Manager hidupmu pasti akan lebih kacau. Atau bahkan jika pak Manager tidak meminta bantuanku, kau pasti sudah ditemukan tewas di rumah ini."
"Berhenti memanggilnya pak Manager, nama dia Sasaki."
"Hmm... Aku baru sadar aku tidak tahu namanya." Timpal Mikasa dengan suara berbisik, matanya ke kanan ke kiri menutupi rasa malu.
"Haha. Itu karna kau bodoh."
Levi puas, akhirnya dia bisa menertawakan gadis itu juga. Mikasa tentu saja merespon jengah.

"Aku akan menginap malam ini. Kalau masih ingin hidup jangan macam-macam denganku." Sekarang mata Mikasa berubah menyalak, ia menunjukan satu telunjuknya tegas tepat di depan wajah Levi. Tentu saja dengan nada mengancam.
"Iya aku mengerti, kau boleh tidur di kamar yang satu lagi. Biasanya Sasaki tidur di sana."

"Hah?! Yak! Kau tega membiarkanku tidur di ranjang bekas pria tua?"
"Mau bagaimana lagi? Kau ingin tidur denganku?"
"Lebih baik aku tidur di luar."
"Baik kalau begitu silahkan."

Bibir Mikasa mengerut, ia semakin merajuk kenapa Levi selalu membuatnya kesal? Arghh... "Bisa kita bertukar kamar? Kau yang tidur di kamar pak Sasaki. Aku tidur di kamarmu."
"Kenapa? Karna aku pria muda? Jangan pilih-pilih."
"Bukan begitu maksudku tapi..."

Kalimat Mikasa menggantung, ia ragu untuk melanjutkan kalimatnya, otaknya sedang berputar seolah mencari alibi dan alasan. "Setidaknya aku sudah merasakan tempat tidurmu tadi."
"Kalau bukan aku yang memaksamu tadikan?"
"Stop! Hentikan jangan dibahas lagi."

"Jangan pura-pura seperti itu, kau suka kan? Kapan lagi dapat kabedon dari pria sepertiku."
Tiba-tiba Mikasa menghentikan kegiatan makannya. Ia sudah tak sanggup lagi berbicara dengan pria itu. Ia menaruh kembali sepasang sumpit di atas mangkuk, matanya menyalak meski bibirnya diam.
"Kenapa berhenti?"
"Nafsu makanku hilang gara-gara kau!!"

Cecar Mikasa ia kesal lalu pergi ke wastafel menaruh makanan yang masih tersisa. "Jangan lupa pesankan aku katsudon lagi!"
"Pesan saja sendiri! Aku tidak sudi."

•••

Ku ingin Eren cepat pulang dan ketemu Mikasa. Kamu pasti benci author mereka kapan bersatunya? Huhuhu

Attack on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang