Yang Levi inginkan hanya kehangatan. Yang ia butuhkan seseorang yang dapat memahaminya. Tidak kurang tidak lebih hanya itu kemauannya, tapi kenapa tidak satupun dapat mengerti?
Levi membanting keras pintu amartemen, nafasnya mendengus seperti banteng yang mengamuk. Ia berjalan mengarah kamar lalu melempar ponselnya kesembarang arah.
Ponsel Levi terus bergetar layarnya menyala dengan bertuliskan nama Ayah. Pak Manager kebingungan ia melirik kekanan kekiri tidak tahu apa yang sudah terjadi. Melihat Levi tiba-tiba pulang dengan suasana hati yang sangat buruk.
Ia berjalan mendekat ke arah ponsel lalu memungut benda tersebut. "Ayahmu menelpon." Ujar Pak Manager sekaligus memerintah agar Levi mau mengangkatnya.
Namun hening tak ada jawaban dari sang pemilik ponsel. Levi malah menenggelamkan tubuhnya kedalam kasur yang super empuk. Ia memejamkan mata mencoba meredam amarah yang berkecamuk dalam hati. Pria itu enggan untuk peduli apapun lagi, sekarang ia hanya butuh ketenangan.
"Terjadi sesuatu? Kau membuat gara-gara lagi ya? Dasar bocah..." belum juga Pak Manager menuntaskan kalimatnya Levi cepat menginterupsi.
"Jika kau ingin mengumpatku pergi saja sana."Pria paruh baya itu menghela nafas panjang, ia tidak ambil pusing karna sudah terbiasa dengan tingkah Levi yang seperti ini. "Aku ingin vodka." Perintah Levi terhadap Managernya agar membelikan minuman tersebut.
"Hentikan Levi. Sudah cukup kau mabuk-mabukan. Gara-gara mabuk kau menabrak Mikasa apa kau tidak ingat?" Levi terbangun dari tidurnya, ia mendekat menatap nyalak kepada Pak Manager. "Jangan sebut-sebut perempuan itu."
Levi menunjukan satu telunjuknya memperingatkan dengan tegas. Pak Manager membatin bingung melihat perubahan drastis respon yang Levi buat, biasanya Levi tidak pernah semarah itu, ketika mendengar kata Mikasa ia akan sangat antusias sekarang kenala malah sebaliknya. Merasa kejanggalan tersebut Pak Manager pun penasaran.
"Ada sesuatu dengan dia? Jangan-jangan dia berubah fikiran dan ingin membawa kasusmu ke jalur hukum?" "Bukan itu. Sudahlah, cepat aku ingin vodka."
"Kalau begitu kenapa? Pokoknya tetap! Aku tidak akan membelikannya." Sang Manager menaruh ponsel Levi di atas kasur yang tak lama kembali menyala. "Mungkin ada hal penting yang ingin beliau sampaikan, mending kau urusi saja Ayahmu ini."
Levi tersenyum kecut memberi tanda jika ia amat tidak suka. "Masa bodoh. Tua bangka itu semakin membuatku stress saja. Dia bahkan tidak pernah menganggapku anaknya. Orang tua mana menelantarkan anaknya seperti ini."
Levi tertunduk dia meremas rambut kuat-kuat. Fikiran dan emosi semakin menjadi kacau tidak karuan. "Baiklah kalau kau menolak aku akan membelinya sendiri." Levi ancang-ancang melangkahkan kaki, namun dengan cepat di hadang oleh Manager.
"Hentikan!" Cegah paruh baya itu menghalangi pintu. "Kau ingin kuhajar? Jangan halangi aku." Levi geram meremas kepalan tangan, ia tidak akan segan membuat lawan bicara ya babak belur, entah siapa itu ia akan nekat melakukannya.
"Okay baiklah. Dengan syarat kau minum dengan pengawasanku. Jangan sekali-sekali kau kabur dari tempat ini, aku mengawasimu!" Suara Manager pecah ia agak ketakutan sebab ia tahu jika Levi tidak pernah main-main dengan ucapannya.
Levi mengangguk, ia benar-benar lemas tak sanggup lagi untuk beradu mulut, ia pasrah saja yang penting malam ini bisa menghilangkan masalahnya sejenak dengan minuman beralkohol.
•••
Tidak ada rasa bersalah sedikit pun setelah kepergian Levi tadi sore di rumahnya. Kejadian tersebut begitu cepat entah kenapa Mikasa agak aneh hari ini. Ia lebih emosional, apa yang ia rasakan ia utarakan secara gamblang.
Ia tengah mendekap menatap gamang layar ponsel. Rasa gelisah masih menyelimutinya, Eren sebuah nama yang masih terus terngiang. Ia belum juga melupakan pemuda itu. Lalu apa yang harus ia lakukan agar Eren menghilang dari kepalanya.
Kuhubungi saja dia? Agar rasa penasaranku sirna?
Tidak perlu waktu lama lagi, jemari Mikasa segera menari di atas papan ketik. Ia menulis sesuatu di dalam sebuah pesan singkat.
Apa kabar?
Hanya dua kata yang mampu ia ketik. Sebab Mikasa sendiri bingung harus melontarkan kalimat seperti apa. Arghhh panas dingin mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Perasaan apa ini? Mungkinkah ini bertanda jika gadis itu tengah dirundung rindu?
Tapi Mikasa terus menampik, sekarang seluruh perasaannya tak bisa lagi dibendung. Cukup sudah ia menahannya, ia ingin meledak seperti bom, atau meletup seperti gunung api.
Mikasa memeluk erat lututnya sendiri di atas tempat tidur. Ia penasaran respon apa yang akan di balas oleh Eren nanti. Mungkin kah ia akan kebingungan, lalu berfikir ada perlu apa Mikasa menghubungiku? Mikasa sedang berfikir keras sekarang. Mencari-cari alibi agar mampu melindungi dirinya dari rasa malu.
Mikasa tertidur menyamping, memandang dinding yang kosong. Kamarnya gelap hanya cahaya temaran dari luar menerebos masuk. Malam itu begitu hening, namun berbanding terbalik dengan perasaan mereka yang begitu rumit.
•••
Author lagi baik (galau) bikin double up! Maafin kalau ada salah, typo, atau hal gak jelas lainnya dalam tulisan author ini 😞 mohon diampuni. Author rada-rada lupa cerita bagian yg kemarin2 sudah lama juga. Intinya author ga baca ulang wkwkwk author lagi males, main nge gas aja nerusin ini cerita. Moga suka deh meski acak kadut, gaje, gak nyambung gitu 🙏🏻😫 boleh protes deh... yg menunggu EreMika bersatu mohon bersabar yaaaaa 😭 oia terimakasih buat yang selalu baca dan menaburi aku bintang 😘😘 peluk cium dari author cantik (plak)
KAMU SEDANG MEMBACA
Attack on You
FanfictionMikasa sangat ketakutan pada perasaanya, hatinya tertutup rapat dan terkunci. Dia bukan penyuka sesama jenis, tapi baginya kasih sayang antara pria dan wanita itu menjijikan! Karna beberapa alasan, dia tidak pernah, dan TIDAK AKAN PERNAH pacaran! B...