31

681 81 5
                                    


•Eren POV•

Belum lama saat teman-temanku pergi. Aku menghadap ruangan klub, terdapat cahaya dari dalam ruangan tanda seseorang tengah di sana. Apa Mikasa baik-baik saja? Aku jadi cemas. Sambil menunggunya kubereskan pekerjaan yang tersisa. Merapikan barang dan memasukannya ke gudang sedikit demi sedikit.

Tak lama terdengar langkah kaki mendekati, aku menoleh sosok Mikasa tengah mematung di sana. Samar-samar aku bisa melihat ekspresinya ia terlihat kebingungan. Sebab saat ia kembali Mikasa hanya menemukanku.
"Kemana yang lain?" tanyanya setelah memyensor ke segala arah.

"Mereka sudah pulang. Hanya tinggal kita berdua."
"Hah?!" Dahi Mikasa mengernyit. "Annie ada janji dengan ibunya. Sasha sudah kelelahan, dan Armin membeku karna kedinginan. Mereka semua harus cepat pulang."
"Lalu kita? Bukan kah kita juga harus segera pulang?"
"Pekerjaan belum selesai. Tinggal sedikit sih, kalau Mikasa mau pulang duluan silahkan."
"Tidak, tidak mungkin aku meninggalkanmu sendirian. Kita selesaikan ini bersama lalu pulang."
Katanya dengan yakin, Aku tersenyum lebar. "Terima kasih."

Mikasa memunguti ember dengan cekatan. Ia tak beralaskan kaki berjalan ke sana kemari seperti boneka. Aku membawa saringan dan sikat panjang bersamaan, saat akan melangkah menuju gudang tiba-tiba Mikasa menghentikanku.
"Tunggu!" Teriaknya. Lalu berlari ke arahku. "Ada apa?"
"Pergi bersama. Di sini gelap aku agak takut hehe."
Aku mengangguk mengiyakan. Akhirnya aku memimpin jalan di depan.

Setelah masuk ke dalam gudang keadaan semakin gelap. Kami hampir tak melihat apapun. Bruk!
Terasa ada sesuatu di punggungku, rasanya hangat dan agak kenyal. Ah...fikir apa aku ini! "Maaf, huhu gelap." Rengeknya setelah menabrakku dari belakang. "Hati-hati tersandung di sini sempit dan banyak sekali barang, Ikuti aku."

"Iya." Diam-diam Mikasa memegangi ujung bajuku. Memang tidak begitu terasa tapi aku tahu dia sedang melakukan itu saking takutnya. Kami berjalan hati-hati namun saat yang bersamaan terdengar suara gebrakan dari arah pintu, sekejap cahaya dalam gudang menghilang.

Aku langsung melihat ke arah sumber suara, ternyata pintu gudang sudah tertutup rapat. Shit! "Mikasa kita harus berbalik. Pintunya tertutup."
Kulempar saja barang yang kubawa ke sembarang arah. Mikasa tersentak kaget, "maaf, taruh saja embernya asal. Kita harus keluar sekarang."
Perintahku panik. "Heee?!"

"Di mana? Di mana jalannya." Mikasa meraba-raba untuk menjari jalan keluar. Tapi sayang ia sangat lambat, aku gemas kutarik saja lengan Mikasa hingga tubuh kami berhimpitan saat bertemu. Maafkan aku, kuyakin ia pasti terkejut. Kuarahkan ia di belakangku. Kugenggam tangannya menuntun dia untuk berjalan. Sekarang posisiku di depan dengan nafas yang beradu, aku mencari celah secepat mungkin.

Tanganku terus meraba-raba tanpa rasa takut, apapun yang di hadapanku kupegang. Hingga sekian lama akhirnya aku menyentuh gagang pintu, kucoba putar dan membukanya. Namun tak bisa, akhirnya apa yang kutakutkan terjadi. "Tamat sudah riwayat kita."
"Apa maksudnya?" Terdengar jelas dari suara Mikasa bergetar ia juga panik.
"Terkunci."
"Kita tidak bisa keluar? Yak! Jangan bercanda!"
"Maaf Mikasa. Ini sungguhan."

Brak! Brak! Brak!

"Tolooong!! Tolong!! Kami terkunci!! Ada orang di luar? Hey! Jawab aku!"
Aku berteriak sekuat tenaga sambil menggebrak-gebrak pintu, sebisa mungkin membuat kebisingan agar ia mendengar jika di sini ada tanda-tanda kehidupan. Kuyakin seseorang yang mengunci pasti belum jauh dari sini. "Buka pintunya! Tolooong! Siapapun! Jawab lah..."
Aku mengulang kalimat lagi tapi nihil tak ada juga suara menyahut.
"Tolong! Kyaaaaaa!!!!"
Sekarang Mikasa yang tidak diam. Ugh...mendengar suaranya melengking seperti itu membuat telingaku sakit. Aku mengelus telingaku sesekli.

Apa yang harus kulakukan? Aku mencoba berfikir dengan tenang dan meyakinkan diri sendiri, pasti masih ada cara untuk keluar. Aku menyelidik ke seluruh ruangan. Terdapat jendela kecil di ujung gudang namun posisinya agak atas. "Masih ada jalan keluar." Tungkasku sambil menunjuk ke arah yang dimaksud. "Di ujung gudang ada jendela."
Sedetik kemudian Mikasa merespon. "Iya aku tahu Itu jendela. Haruskah kita keluar dari sana?"

"Hmm...mungkin."
"Ide konyol! Eren, kau bawa ponsel?"
Arghh bodoh sekali aku, fikiranku teramat dangkal! "Aku bawa tunggu." Kurogoh saku celana untuk mengambilnya. "Cepat hubungi seseorang. Ponselku tertinggal di ruang klub." Timpalnya lagi, aku langsung membuka kunci layar. Nama pertama yang muncul di kepalaku Armin. Cepat-cepat kuhubungi dia.

Tuuut....tuuut...tuut...

Telpon terus mencoba menghubung tapi tak ada tanda-tanda si pemilik mengangkatnya. Aku gelisah, kemana sih dia? Cepat angkat! Ku ulang lagi untuk yang kedua kali.

Tuuut...tuuut...tuuut...

Tetap tak ada jawaban.

Ting!

Sebuah peringatan batrai ponsel lemah muncul di layar ponselku. Astaga... Aku menyugar rambut frustasi. "Tidak diangkat?"
Tanya Mikasa melihat reaksiku yang gamang. "Iya. Sepertinya dia sedang sibuk."
"Coba kirim pesan, barangkali saat melihatnya nanti dia langsung menghubungi kita." Aku patuh, aku langsung membuat pesan singkat kepada Armin, jika kita sedang terjebak dalam gudang sekolah.

"Aku sudah kirim. Kita tunggu saja."
"Emm. Kau bisa menghubungi yang lain? Seseorang siapa saja yang mau datang menolong kita."
"Maaf tapi batre ponselku lemah. Setidaknya aku harus menghemat sampai menunggu balasan dari Armin."
Terdengar desahan panjang dari nafas Mikasa, terasa penuh dengan rasa putus asa.
"Baiklah aku mengerti, satu-satunya harapan kita hanya Armin. Semoga ia cepat membalas."
"Iya. Ngomong-ngomong sambil menunggu kita cari tempat untuk duduk ya?"
"Ide bagus. Lelah juga jika terus seperti ini."
"Kita jalan menuju jendela itu. Setidaknya di sana lebih terang."
"Oke. Bisa kau nyalakan senter di handphonemu itu?"
"Batre ponselku?"
"Ya Tuhaaan..."

Hening...beberapa menit berlalu aku menunggu Mikasa berjalan, sebab ia berada di depan sekarang. Namun ia tak juga mau melangkahkan kaki, ia berdiam. "Kenapa?" Tanyaku heran.
"Kau kan jalan yang di depan."
"Ahaha..."
Aku tertawa garing, ternyata ia menungguku untuk memimpinnya lagi. Tanpa berlama-lama aku menyela posisinya sekarang. Berjalan kembali saling beriringan dalam ruangan yang gelap gulita ini.

Tampaknya langit sudah sepenuhnya menghitam. Ada suara tetesan air dari luar, awan mendung tadi ternyata berkata benar jika sebentar lagi ia akan membawa hujan. Ia juga memberikan tanda kalau akan ada kejadian buruk menimpa kepada siapa saja yang melihatnya.

Sialnya hari ini, terasa lelah dan panjang. Namun masih terasa lebih baik ketika aku mengenggam erat tangan yang lebih kecil dariku.
Kutuntun ia berjalan secara hati-hati agar tak membuatnya terjatuh. Rasa hangat di antara kedua tangan kami seolah berbicara, tenang saja semuanya akan baik-baik saja.

•••

Mata author udah buram kiri minus 1, kanan minus 1 + silinder 0,25 😭 lama-lama ngetik pusing huhu. Berhubung weekend double up deh. Makin gak jelas juga bodo amat ini cerita huhu

Attack on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang