35

601 67 3
                                    

"Mikasa!"

Pekik Sasha sambil menggebrak meja. Mikasa yang tengah melamun tersentak kaget, segera ia menatap layar ponselnya yang menyala.

"Angkat! Ini kesempatanmu untuk menolaknya."

Mikasa tidak tahu harus berkata apa. Fikirannya seolah kosong. Tapi ia sanggupkan untuk menjawab telpon tersebut, meski dipenuhi rasa ragu.

"Apa?" Kata Mikasa dingin.

"Kenapa lama sekali!!"

"Aku sedang di sekolah."

"Aku tahu."

Levi terdiam sesaat, begitu juga Mikasa. Entah kenapa percakapan mereka terasa canggung tak seperti biasanya. Mikasa menundukan wajah, ia meremas ujung roknya.

"Levi, aku—."

"Aku jemput pulang sekolah nanti. Jangan pergi kemana pun."

Pria itu dengan cepat menginterupsi. Mikasa semakin kelu. Harus kah ia berkata 'Levi jangan dekati aku lagi.' Kenapa tidak bisa ia ucapkan? Argh Mikasa sangat frustasi.

"Aku ada latihan. Jangan tunggu aku."

Alibi terlintas begitu saja. Ya mungkin itu terdengar lebih baik. Fikir Mikasa dalam hati.

"Jangan khawatir, aku akan menunggumu sampai kau selesai."

Setelah itu pun Levi mengakhiri panggilan tanpa memperpanjang. Terdengar jelas jika ia tak mau mendengar alasan lebih banyak dari mulut Mikasa.

"Apa katanya?"

Tanya Sasha masih penasaran. Ia memandang sahabatnya itu lamat-lamat. Mikasa sontak menggeleng seraya bersuara lemah. "Katanya dia akan menungguku."

"Si bodoh ini..."

Desah Sasha menepuk dahi, kemudian ia berjalan beberapa langkah mendekati bangku lalu duduk tepat di hadapan Mikasa.

"Lain kali kau harus katakan dengan benar! Yah... tapi jika salah satu di antara Levi dan Eren mau menjadi yang kedua. Hahaha!!"

Perempuan berambut ekor kuda tersebut tertawa konyol. Mikasa hanya tersenyum geli sambil membayangkan perkataan gila Sasha tadi, ia bahkan tidak pernah berfikir sejauh itu.

***

Setelah luka dibersihkan, Armin menempelkan plaster di kedua lutut Petra. Lututnya mungil, kulit kakinya juga putih seperti susu. Membuat Armin gugup dan ekstra hati-hati saat menyentuhnya.

"Jadi? Apa yang membuatmu berlarian di lorong seperti itu?"

Ujar lelaki itu memberanikan diri untuk angkat suara, agar menghilangkan canggung di antara mereka.

"Em—."

Petra hanya berdeham matanya berputar ke kanan, ke kiri ragu untuk menjawab. Sebab mereka hanya dua orang asing yang tak tahu satu sama lain.

"Maaf kalau aku bertanya. Tidak mau menjawab pun tidak apa-apa."

Armin paham, ia tak mau memaksa gadis itu untuk bercerita. Kemudian ia bangkit, dan bersiap melangkah kan kakinya.

"Lain kali jangan berlari-lari seperti itu lagi. Bahaya—."

Hardik Armin menatap wajah polos Petra, ia tersenyum teduh sesaat. Petra juga memandangnya, namun tanpa memberikan respon apa pun. Setelah itu Armin berbalik badan dan berjalan menuju pintu.

"Dia memaksaku untuk berpartisipasi dalam festival."

Ucap Petra tiba-tiba membuat langkah Armin terhenti. Petra menunduk menyembunyikan wajah, entah kenapa ragunya berubah menjadi malu sekarang. Tentu Armin refleks menoleh kembali ke belakang.

"Hn?" Dahi Armin mengerut, ia mematung.

"Aku tidak mau ikut. Aku menolaknya."

"Kenapa? Bukan kah bagus kalau kau bisa ikut berpartisipasi dan menjadi perwakilan kelasmu?"

"Tidak. Aku tidak mau!"

Armin menghela nafas, ia membalikan tubuhnya mendekati Petra lagi beberapa langkah, gadis itu masih duduk di bangku kecil tak berani menatap mata Armin.

"Lelaki itu mengajakmu pasti karna sebuah alasan."

Armin merunduk lalu bersimpuh kembali di hadapan lutut Petra. Memandangnya dengan sorot mata yang amat lembut.

"Kau pasti hebat makanya ia memintamu untuk ikut. Kenapa tidak kau terima saja? Anggap lah untuk mengisi kenangan masa sekolah yang singkat ini. Yang menang dapat hadiah loh, tidak rugi kan?"

Goda Armin, ia kembali tersenyum. Hingga Petra berangsur mau menatap pemuda itu.

"Kalau kalah bagai mana? Aku bisa malu!"

"Membuat kenangan bersama teman-teman itu sangat mengenangkan. Aku yakin kau akan banyak tertawa saat bersama mereka. Hasilnya bagai mana, menang atau kalah itu tidak masalah. Itu biasa dalam sebuah game bukan? Yang penting kita bisa menikmatinya. Aku saja ikut perlombaan."

"Sungguh? Kau ikut apa?"

Manik Petra melebar, sedangkan Armin hanya memperlebar senyuman yang terkesan jahil.

"Rahasia. Hehe."

"Pfttttt!!!"

Sedetik kemudian bibir Petra mengerut lucu jengah.

"Kalau begitu aku tetap tidak akan ikut!"

"Hee... Kalau aku beri tahu memangnya kau mau ikut?"

"Em—."

Petra berdeham berusaha berfikir, ia terjebak dalam ucapan Armin.

"Ti—."

"Kalau begitu aku tidak akan beri tahu. Aku pergi sekarang."

Armin bangkit lalu berjalan tanpa menatap Petra sedikit pun. Wajahnya seketika berubah datar tak peduli.

"Teserah!!"

Gerutu Petra, wajahnya memerah karna semakin kesal. Sampai ia berdiri dari tempat duduknya. Petra ingin mengejar Armin tapi ia tahan dalam-dalam, harga dirinya jatuh kalau sampai terjadi.

Melihat reaksi Petra, Armin tak kuasa menahan tawa. Ia tertawa diam-diam saat pintu sudah di depan mata. Armin geser pintu tersebut perlahan. Saat kakinya nyaris keluar dari ruangan, Armin berhenti sekejap.

"Aku ikut lomba renang. Dukung aku ya!"

Seru Armin langsung menutup pintu itu cepat. Petra menohok merasa berhasil dipermaikan, ia memandang pintu yang kehilangan sosok Armin di baliknya.

***

Long time no see guys and AOY. So sorry to say if you not satisfied  with this chapter, kependekan 😭 kemampuan menulis author hilang wkwk hope you still like this Attack on You. Hayo siapa yang lagi on going nonton Attack on Titan 😘

Attack on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang