Setelah melepaskan pelukannya, Jimin mendudukkanku pada kursi yang sebelumnya kutempati. Saat ia merasa tubuhku seperti tak bisa menjaga keseimbangannya.
Jimin memeriksa setiap inci wajahku dan juga tubuhku, untuk memastikan bahwa aku benar-benar baik-baik saja. Ia tampak sangat serius melakukan itu, sampai saat pandangannya tertuju pada kakiku.
Ia langsung berjongkok kemudian menatapku khawatir. "Wanita gila," celetuk Jimin setelah itu.
Lalu, ia mengeluarkan sebuah sapu tangan dari saku mantelnya. Lalu mengikatkannya pada kakiku yang terluka. Aku dapat melihat Jimin menyeka air matanya, namun ia berusaha tetap kuat saat menatapku.
"Kita ke rumah sakit sekarang!" ucap Jimin dengan nada menuntut.
Kugelengkan kepala seirama, "Aku harus menyelesaikan sesuatu terlebih dahulu."
Jimin berdecak, lalu berdiri dari duduknya. Ia berusaha membersihkan wajahku yang sedikit kotor karena air mata dan debu-debu. "Berhentilah menjadi keras kepala untuk saat ini!" perintah Jimin, di sela kegiatannya.
Aku tersenyum, "Bukan keras kepala, Jimin-ah. Aku akan mengakhiri semua ini!"
Decakan kecil kembali keluar dari bibir menggemaskan Jimin, kemudian ia memberiku sebuah kunci mobil. Aku menatapnya tidak mengerti, dengan mataku yang membesar dan dahiku yang mengernyit.
Seakan memahami ekspresiku, Jimin membuka suara. "Gunakan ini untuk menemuinya." Setelah itu, Jimin melanjutkan kalimatnya. "Tapi, aku tak akan membiarkanmu sendirian. Seorang sopir akan mengantarmu."
Senyumanku mengembang. "Gomabda," ucapku setelah itu. (Terima kasih)
Jimin hanya mengangguk, lalu membantu diriku untuk berdiri. Ia juga mengantarkanku sampai mobil yang akan kunaiki, bahkan Jimin lah yang memasangkan seatbelt untukku.
Aku terkekeh saat sifat itu tak kunjung hilang dari Jimin, mengayomi seperti seorang ibu. Sejak dulu, Jimin selalu begitu. Merawatku dengan baik, saat aku sedang sakit.
"Setelah urusanmu selesai, cepatkan pergi ke rumah sakit!" ucapnya, yang langsung mendapat anggukan cepat dariku. "Ma'af aku tidak bisa mengantarmu, aku harus mengurus masalah ini dengan appaku," sambung Jimin setelah itu.
Aku kembali menganggukkan kepalaku, dengan senyuman sebuah rasa syukur. Jimin menggapai kepalaku, lalu mencium puncak kepalaku sesaat. Sama sekali tidak terkejut saat mendapatkan itu, karena itulah Jimin. Ia memang seperti itu.
Jimin tersenyum, "Jaga dirimu!" Kemudian, ia menutup pintunya. Jimin melambaikan tangannya saat mobil yang kunaiki sudah berjalan, dan aku pun membalas lambaian itu.
Aku senang, karena aku masih bisa hidup sekarang. Aku juga sangat senang, karena Tuhan memberikanku kesempatan untuk memperbaiki keputusanku.
Aku sama sekali tidak berharap, Taehyung akan mema'afkanku nanti. Atau, aku akan berharap memiliki hidup bahagia bersamanya. Karena, di dalam otakku hanya tertanam satu tujuan. Mengakhiri drama ini.
Sepanjang jalan menuju tempat yang kutuju, aku selalu menatap ke arah samping jalan. Karena, di sanalah tempat terakhir aku berpisah dengan Taehyung. Dan tempat itu, sudah sepi. Tak ada orang lain di sana.
Mungkin Taehyung sudah ada yang membawa pulang, batinku saat itu. Semua pikiran positif selalu kuselipkan di sela pikiran-pikiran negatif yang memenuhi otakku. Berpikir bahwa Taehyung baik-baik saja, itulah salah satunya.
Saat aku sudah sampai di apartemen, aku menyuruh sopir Jimin untuk menungguku di sana saja. Karena, aku masih yakin. Bahwa aku bisa berjalan dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wings [Jjk-Kth-Pjm FF]
FanficIni adalah cerita tentang seorang gadis yang memperjuangkan orang-orang yang ia miliki di dalam hidupnya; keluarga; sahabat dan; cinta. Akankah ia berhasil dalam memperjuangkan semuanya? Atau mungkin ia akan kehilangan salah satunya? Hal terburuknya...