28. Bahagia dan Iri Hati

2.6K 86 1
                                    

Happy Reading:)
Jangan lupa untuk vote dan coment!
Semoga kalian suka dengan part ini.

~~~

28. Bahagia dan Iri Hati

Dharma dan Bindusara, sepasang suami istri itu saat ini masih berada di dalam ruangan kamar mereka. Keduanya belum merasa puas untuk saling berbincang satu sama lain. Masih banyak hal ingin mereka bicarakan dari mulai A sampai Z. Meski Bindusara merasakan tubuhnya terasa lemas tetapi karena kebahagiaan yang di berikan Dharma, rasa lemas itu seolah-olah mendadak hilang. Hanyut terbawa rasa semangat dan kebahagiaan.

"Sedari tadi kau terus saja senyum menatap ku. Kenapa?" ucap Dharma.

"Bagaimana lagi? Ibu hamil selalu terlihat cantik. Sangat cantik. Itu membuat ku tidak bisa berpaling ke arah lain," balas Bindusara membuat gadis itu tersenyum.

"Kau ini! Jangan menggodaku. Lebih baik sekarang katakan apa yang ingin kau beritahu padaku?" tanya Dharma yang teringat akan apa yang sebelumnya Bindusara katakan bahwa dia ingin memberitahukan sesuatu.

Bindusara mendadak terdiam. Senyumannya mulai memudar saat mengingat bahwa pasukannya telah kalah.

"Ada apa? Kenapa wajah mu tiba-tiba murung? Apa ada masalah yang terjadi?" tanya Dharma pada laki-laki itu.

"Tidak, Dharma. Tidak ada masalah apapun yang terjadi. Memang ada hal yang benar-benar ingin aku beritahukan padamu. Aku harap kau tidak akan kecewa padaku," jawab Bindusara.

Dharma tersenyum lalu memegang tangan Bindusara. "Katakan saja dulu. Kau jangan memikirkan apa reaksi orang setelah mendengar apa yang kau katakan. Lagipula atas dasar apa aku harus kecewa pada mu? Kau tidak melakukan kesalahan apapun padaku ataupun pada lainnya. Benarkan?"

Bindusara menatap Dharma. Ia harus yakin jika istrinya itu tidak akan merasa kecewa padanya. "Sekali lagi aku minta maaf padamu, Dharma."

"Maaf lagi?"

"Kau tau? Mungkin semua orang saat ini benar-benar kecewa padaku. Aku telah mengingkari janjiku sendiri, Dharma. Pasukan ku telah kalah dalam Medan perang. Aku juga telah menyetujui perjanjian yang seharusnya aku tolak. Karena pasukan ku kalah dan juga aku sudah menyetujui perjanjian itu, mau tidak mau ibu Helena dan ayahnya harus tinggal di istana ini. Sebelumnya aku berjanji pada semuanya bahwa aku akan membuat mereka bangga. Membawa sejuta kebahagiaan dalam perang itu. Tapi aku? Aku malah melakukan kesalahan dan mengingkari janjiku sendiri," tutur Bindusara.

"Pasukan mu kalah?"

"Ya, Dharma. Aku tidak pantas menjadi seorang pemimpin. Tidak pantas menjadi seorang pangeran dan juga tidak pantas menjadi seorang pu—"

Ucapan Bindusara terhenti karena tiba-tiba salah satu jari Dharma menempel pada bibirnya. "Kau tidak boleh mengatakan itu, Bindusara. Baik buruknya dirimu, menang atau kalahnya, kau sudah melakukan tugasmu dengan sebaik mungkin. Jika kemenangan bisa membuat derajat seseorang menjadi tinggi, lalu kenapa kekalahan harus membuat harga diri seseorang hilang? Itu tidak benar. Kalah menangnya dalam suatu hal itu sudah biasa. Perjuangan seseorang tidak di lihat dari seberapa besar orang itu mengalahkan musuh. Tetapi perjuangan seseorang dilihat seberapa besar orang itu mau berkorban dan melakukan hal sebaik mungkin. Kau sama sekali tidak melakukan kesalahan. Jadi janganlah menyalahkan diri sendiri dalam suatu hal."

BINDUSARADHARMA [Completed✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang