53. Kasih Ibu Sepanjang Masa (Creepy)

206 19 12
                                    


"Bu, Amin lapar..."

Seorang Wanita awal Tiga Puluhan menatap sedih ke arah anak bungsunya tersebut. Si ibu maklum, dia dan dua orang anaknya ini sudah tiga hari belum makan apa-apa.

"Sabar Dek, nanti kalau kita sudah sampai di kampung kamu bisa makan sepuasnya." Jawab sang Kakak, Dian, dengan bijaksana.

Sang Ibu mengelus kepala kedua anaknya dengan halus, kemudian berkata,"Kakakmu benar dek, sabar dulu. Beberapa hari lagi kita pasti akan tiba."

Sambil mengelus perutnya lapar, si bungsu pun mengalah dan kembali menapakan kakinya malas.

Sudah tiga hari lamanya mereka berjalan melintasi hutan yang kini sudah terbakar habis. Hanya tersisa abu dan ranting-ranting hangus yang sama sekali tidak mengundang  selera. Sebagai satu-satunya korban yang berhasil melarikan diri dari peperangan yang berkecamuk di desa mereka, kini mereka menelusuri hutan dengan harapan mencapai desa seberang yang jauh dari ganasnya pertempuran.

Jarak desa itu lumayan jauh jika di tempuh dengan kuda, namun dengan berjalan kaki? Si Ibu pernah mendengar dari seorang pedagang bahwa butuh waktu sekitar tiga minggu lamanya jika nekat berjalan kaki dari desa mereka ke desa seberang. Namun kini mereka tidak punya pilihan, melarikan diri dengan kuda akan terlalu mencolok, selain itu tidak ada yang bisa menunggang kuda di antara mereka.

Mereka bertiga tidak mempunyai pilihan lain, sang Ayah wafat dalam pertempuran. Kalau bukan karena inisiatif sang ibu, mereka tidak akan mempunyai kesempatan. Sang Ibu pemberani itu bernama Lastri, dengan gagah berani mereka berhasil melewati medan pembantaian. Kedua anaknya, si Sulung Dian yang baru berulang tahun ke dua belas dan adiknya Amin yang masih berusia delapan tahun ikut memberanikan diri, mengekor ibunya saat mereka mengendap-ngendap melewati kubangan darah dan daging manusia.

Peluh keringat menetes membasahi pipi Lastri, ia pun sedikit mengusapnya lembut dengan tangan, seraya terus melanjutkan perjalanan. Mereka benar-benar tidak memiliki kemewahan untuk barang beristirahat sejenak, jarak desa seberang masih sangat jauh. Sesekali dia melirik khawatir ke arah kedua anaknya, menahan lapar beberapa hari bukanlah masalah besar baginya, namun bagi kedua anaknya? Perjalanan ini pasti terasa bagai neraka bagi mereka.

Sang Ibu terbiasa menahan lapar sejak kecil, karena terlahir di keluarga yang serba berkekurangan. Namun kedua anaknya berbeda, mereka hidup sejahtera sejak jabang bayi karena sang Ayah merupakan Petani sukses di desanya. Jujur saja sang Ibu merasa khawatir, di tengah hutan yang habis terbakar begini, di mana mereka bisa menemukan makanan?

Untung saja sang Maha Kuasa masih memberi mereka keringanan dengan hujan yang turun dengan teratur, namun masalah makanan lain soal. Lastri merasa frustasi, akankah
mereka bisa mencapai desa seberang dengan selamat? Sementara perjalanan masih jauh dan mereka tidak memiliki apa-apa untuk di makan?

Sepanjang perjalanan doa tiada pernah terputus dari muluh letih Lastri, dia hanya berharap setidak-tidaknya kedua orang anaknya bisa selamat. Mereka masih terlalu muda untuk meninggalkan dunia ini. Setelah perjalanan tertatih seminggu lamanya, si bungsu akhirnya pingsan kelelahan. Lastri buru-buru mendekap anaknya, menumpahkan air mata kesedihan yang di simpannya selama ini. Sang kakak hanya terduduk diam sambil mengelus rambut adiknya pelan.

Di tengah derai air mata, sang ibu bernazar, ia akan melakukan apapun agar buah hatinya selamat...

Apapun!

Saat jurang keputus-asaan seakan membentang lebar di hadapannya, sang ibu melihat sisa tulang belulang dari hewan-hewan yang habis terbakar. Seketika sebuah ide gila melintas di benaknya, ide yang mungkin akan menyelamatkan anak-anaknya.

Tak ingin membuang waktu, sang Ibu memberi isyarat ke sang kakak untuk mendekat. Dengan gemetar, Lastri membisikan apa yang dipikirkannya kepada Dian. Entah apa yang di bisikan sang Ibu, hingga sanggup membuat mata Dian membelak seakan ingin meloncat keluar, sambil menatapi sang Ibu tak percaya.

"Lakukanlah nak, ibu mohon..." Ucap Lastri tegar.

~ ~ ~ Dua minggu kemudian ~ ~ ~

Pagi itu, sebuah desa kecil jauh dari pinggiran hutan tetiba gempar. Dua anak kecil dengan tertatih-tatih mendekat ke arah desa dan berteriak minta tolong dengan suara mereka yang parau. Para warga berbondong-bondong menolong mereka dan memberi mereka pakaian yang hangat. Setelah di beri waktu untuk menenangkan diri, sang kepala desa bertanya kepada kedua bersaudara itu perihal kejadian yang menimpa mereka.

Dari awal sang kakak berkisah, para warga di buat keheranan. Bagaimana kedua saudara ini bisa bertahan tiga minggu lebih tanpa makanan? Lalu apa yang terjadi pada ibu mereka? Sampai akhirnya cerita sang kakak tiba di bagian dimana sang adik pingsan. Semua warga mendengarkan dengan penasaran, sementara sang adik tidak kalah bingung. Karena disaat ia tersadar sang ibu tidak ada lagi bersama mereka.

"Apa yang dikatakan oleh ibumu pada saat itu?" Tanya sang kepala desa.

Suara Dian tercekat mendadak, sepintas diliriknya sang adik gelisah. Beberapa saat terdiam dalam hening, akhirnya ia menemukan keberanian dan mulai membuka suara...

"Ibu, ibu bilang dia akan mengorbankan diri untuk kami..." Ucapnya pelan.

"Mengorbankan diri? Mengorbankan diri bagaimana maksud nya?" Selidik sang kepala desa penasaran.

Sang kakak kembali terdiam, kemudian sembari terisak dia melanjutkan ceritanya sambil terbata-bata...

"Ibu... Ibu bilang... Hiks... Dia.. Dia akan mengorbankan diri untuk kami... Hiks..." Sambil menahan tangis, ia mengusap air matanya pelan, kemudian melanjutkan. "Ibu bilang, dia... Dia akan melompat dari atas tebing di dekat kami... Hiks.. Kemudian... Kemudian ibu memintaku mengambil daging dari tubuhnya dan menguburkan belulangnya... Hiks.. Ibu bilang rahasiakan ini dari adik... Hiks..."

Warga desa pun terdiam, berusaha mencerna kata-kata yang baru saja mereka dengar. Mencoba merasionalkan hal gila yang
yang seakan mustahil ini. Seorang Ibu mengorbankan
dirinya menjadi santapan anak-anaknya. Mereka tahu kalau para ibu menyayangi anak-anak mereka. Tapi baru kali ini mereka dengar pengorbanan sebesar ini dari seorang ibu.

Tangis kakak beradik itu kembali pecah, para penduduk maklum, anak sekecil mereka harus menghadapi kenyataan hidup yang kejam. Sang Kepala Desa perlahan mendekat dan
mendekap hangat kedua bersaudara itu, "Sudahlah, kita tidak bisa merubah hal yang telah terjadi. Namun kita bisa merubah masa depan, tinggal lah bersama kami di desa ini dan sonsong harapan baru bersama..." Ujarnya menenangkan.

Kedua kakak beradik malang itu saling berpandangan, sepintas cahaya harapan terpancar dari mata sedih mereka. Para warga yang menyaksikan memutuskan ikut membantu dan memberi semangat kepada kedua bersaudara itu. Satu persatu warga desa memperkenalkan diri, mereka saling bercanda, tertawa bahagia, menghembuskan nafas pengharapan baru kepada kedua bersaudara itu.

Di tengah canda bahagia dan gelak tawa, dari kejauhan terdengar ratusan langkah kaki berat dan derap kuda berpacu cepat...

~ ~ ~



Kotak MisteriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang