01. caramel macchiato

67K 11.3K 3.6K
                                    

Apa yang kalian pikirkan tentang vampir?
Edward Cullen? Film Twilight? Van Helsing? Vampire Diaries?

Yahㅡ tidak aneh sih. Hal-hal yang kusebutkan tadi memang dibuat untuk menciptakan mindset manusia terhadap vampir. Tapi biar kuberi tahu satu hal: tidak semuanya benar.
Perbedaan utama vampir dan manusia sebenarnya hanya pada makanan dan kekuatan fisik. Sisanya sama saja seperti manusia ㅡada yang lemah dan kuat, miskin dan kaya, bodoh dan pintar. Andai aku masih jadi vampir, aku adalah yang sangat biasa saja. Saat sudah jadi manusia pun sekarang masih biasa saja sih.





"Macchiato?" tawar Lee Jeno saat kami berhenti di depan food truck kopi favoritku.

Aku bergeming, masih sangat canggung setelah kejadian di pohon sakura tadi. Bahkan saat Jeno sudah tidak mendramatisir keadaan. Dia sekarang sudah memakai topi dan kacamata untuk menyembunyikan mata vampirnya. Boyfriend look.

"Tau dari mana aku suka caramel macchiato?" tanyaku datar.

Jeno tidak menjawab, malah tersenyum lega lalu langsung memesan kopi. Setelah itu ia menyuruhku duduk di salah satu kursi yang disediakan.

"Um... gimana ya. Hmㅡ aku bingung harus mulai dari mana," gumamnya. "Ahㅡ pertama, aku minta maaf soal tadi."

"Maaf?" aku menghela nafas. "Aku hampir mati tau?"

"I-iya, makanya maaf. Aku nggak tau kamu bakal sekaget itu. Emang sebelumnya belum pernah liat vampir?" tanya Jeno.

Panik, aku menutup mulutnya dengan selebaran menu kopi. Dasar ceroboh, sesantai sekali dia mengatakan semua itu.

"Jangan di sini, jangan keras-keras," desisku kesal.

Jeno mengangguk, ia membentuk peace dengan tangannya. Aku menyingkirkan selebaran dari mulutnya.

"Ya- pokoknya maaf. Untung aku bergerak cepat, jadi kamu nggak ketabrak," ujarnya.

Dia pikir ini semua gara-gara siapa? Tapi aku diam, percuma memarahinya di sini.

"Kamu baru berubah berapa lama sih?" tanyaku.

"Belum lama, belum genap dua tahun," jawab Jeno.

Pantas dia gegabah, ternyata vampir muda.
"Kenapa?" tanyaku lagi.

"Pacarku ㅡah, maksudnya mantan pacarku, nggak mau putus dan akhirnya aku diubah jadi vㅡ"

"Kata itunya nggak usah disebut!" desisku lagi, menutup mulut Jeno dengan selebaran untuk kedua kalinya.

"Ish- iya deh! Astaga repot juga ya," gerutu Jeno. "Untung kopinya udah jadi. Tunggu sebentar."

Ya memangnya aku bisa ke mana? Berani taruhan Jeno akan menemukanku lagi dengan cepat kalau aku kabur.
Dia kembali lagi semenit kemudian membawa dua cup macchiato, salah satunya diberikan padaku.

"Sama-sama," kata Jeno karena aku masih saja diam tidak berterima kasih.

"Hm," hanya kujawab dengan gumaman.

"Kopi mengandung kafein yang membantu otak melepaskan dopamin ke dalam korteks prefrontal, area otak yang penting untuk pengaturan suasana hati," Jeno mengoceh lagi. "Jadi, sekarang mood-nya udah baikan?"

"Untuk ukuran orang yang hampir mati ketabrak sih lumayan," decihku.

"Kita ke rumahmu?" tanya Jeno. Ohㅡ bahkan aku tidak heran saat dengan natural kakinya melangkah ke jalan menuju rumahku seakan-akan sudah biasa lewat sini.

"Sejak kapan aku dikuntit? Dasar stalker," tukasku.

"Ceritanya panjang, dan aku nggak boleh menyebut kata 'v' kan? Makanya, mungkin lebih aman ngobrol di rumahmu?"

Werevamp ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang