Jangan salahkan Jeno. Jangan pernah.
Saat aku melihat Jinsoo kemarin, aku makin yakin kalau Lee Jeno adalah seseorang yang sangat tulus. Kukira kisah pengorbanan semanis itu hanya ada dalam fiksi, tapi ternyata kulihat dengan mataku sendiri. Aku bisa melihat betapa Jeno sangat mencintai Jinsoo dan ingin bisa ada di sisi gadis itu tanpa membahayakannya.
Indah sekali. Walaupun di saat yang sama menyakitkan bagiku.
"Kamu juga harus berjuang demi orang yang kamu sayang," ujar Jeno ㅡyang ia maksud adalah adikku.
Kuanggukkan kepala diikuti senyuman hambar. Kami baru keluar dari bioskop setelah nonton film horror ㅡsudah seperti pacaran sungguhan kan? Hari ini Jeno sengaja mengajakku hang out untuk menghiburku katanya. Sweet as always.
Sweetly painful.
"Habis ini mau ke mana?" tanya Jeno. "Sorry, aku orangnya nggak seru."
"Seru kok, makasih ya film-nya. Um- laper nggak? Sekarang kita udah bisa makan bareng, bilang kamu mau makan apa nanti aku yang bayar," sahutku.
"Eh? Nggak usah. Siapa tau kamu butuh uang itu nanti," tolak Jeno. "Kita makan tapi aku yang bayar."
"Am I a joke to you?" aku memutar bola mata. "Aku punya uang kok."
"Bukan gitu maksudnya," decak Jeno. "Uang itu kan biasanya buat..."
"Bayar detektif buat cari adikku? Detektifnya udah masuk penjara, Lee Jeno," sahutku dengan tawa sarkastik. "Ayo, sekali-kali nggak apa-apa. Tapi jangan yang kemahalan ya."
Akhirnya Jeno menurut kuseret menyusuri jajaran kedai di pinggiran kota yang tidak seramai jantung kota Seoul. Terlalu banyak turis di sana, terlalu beresiko akan ada yang mengenali Jeno kalau kami hang out di pusat kota. Begini lebih baik, walaupun agak jauh dari rumah.
"Wah ada supermarket," celetuk Jeno, menunjuk bangunan besar di seberang jalan. "Bagus, pulangnya nanti bisa sekalian belanja makanan."
"Iya juga," anggukku. "Tapi kamu harus kurangin beli makanan instan, nggak baik buat kesehatan. Kita beli sayuran yang banyak nanti. Biar aku yang masak."
"Yang nggak baik emang biasanya enak," Jeno terkekeh. "Belakangan aku kalap karena udah lama kan nggak bisa makan makanan instan kayak gitu."
"Apa lah aku yang dulu sampai bosen makan makanan murahan itu karena nggak punya uang," keluhku.
"Oh ya? Untung aja kamu nggak sakit."
"Mungkin daya tahan tubuh vampirku masih sisa sedikit."
"Ngomong-ngomong soal sakit, habis ritual selanjutnya semoga kamu nggak sakit lagi," ujar Jeno. "Aku jadi merasa bersalah, tau."
"Kenapa? Waktu habis ritual pertama aku sakit gara-gara masuk angin lupa ganti baju yang basah. Kalau kemarin, itu jelas salahku sendiri nggak makan dan tidur," jawabku.
Jeno tiba-tiba menarikku supaya berjalan lebih dekat dengannya, banyak yang main sepatu roda di sekitar sini. Kuharap dia mulai berhenti melakukan hal semacam ini. Karena bukan lagi membingungkan untukku, tapi menyakitkan.
"Yahㅡ emang secara langsung bukan salahku," dia menatapku. "Aku cuma nggak mau kamu kenapa-kenapa."
Oke, hentikan. Dengan cuek aku buang muka. Bukan dia yang salah karena baik padaku, aku saja yang lemah dan salah mengartikan sikap itu. Bodoh.
"Kapan kamu siap buat ritual selanjutnya?" tanyaku to the point.
"As soon as possible. Kamu udah liat sendiri kemarin keadaan Jinsoo," sahut Jeno. Nada suaranya sedih saat menyebut nama itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/146786855-288-k331038.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Werevamp ✓
FanfictionBukan cuma manusia yang bisa jadi vampire, vampire juga bisa jadi manusia lagi loh! Tidak percaya? Ikuti aku dan Lee Jeno, kami werevamp ㅡum, maksudnya werevamp dan calon werevamp. ©smallnoona 2018