Kalau kalian kira Renjun yang berpostur kurus dan tidak terlalu tinggi akan tampak aneh saat menyetir, nyatanya tidak sama sekali. Punggungnya tegak menyandar santai di jok, sementara lengannya yang timbul beberapa jalur urat dengan cekatan mengendalikan kemudi.
"Jangan cuma ketawa, jawab," tukasku karena pertanyaan tentang bagaimana Renjun tahu soal vampir tidak kunjung ia jawab.
"Oke," Renjun terkekeh. "Mending sekarang jawab dulu kita harus ke mana? Rumahmu? Atau mungkin vampir punya rumah sakit khusus?"
Sejenak aku mempertimbangkan. Instingku mengatakan Jeno tidak apa-apa, hanya butuh makan. Di rumah kami masih ada persediaan darah, mungkin aku hanya perlu memaksanya minum dan istirahat.
"Ke rumahku aja," jawabku.
"Oke, semenit juga sampai."
Memang sepertinya hanya semenit setelah Renjun berkata begitu lalu ngebut sampai depan pintu pagar rumahku yang memang tidak jauh dari gedung agensi mereka. Sambil mengeluh kami mengerahkan tenaga terakhir untuk memapah Jeno ke dalam rumah. Dia berat sekali, padahal menurutku tidak gemuk.
"Bawa ke mana nih?" tanya Renjun begitu kami masuk ke dalam rumah.
"Um... kamar aja," jawabku, menggiring mereka ke kamar Jeno. "Soalnya habis ini kamu harus jelasin semuanya."
"Wow kayak mau sidang," Renjun malah menanggapi dengan gurauan.
Terserah lah.
Sementara dia masih membetulkan posisi berbaring Jeno di tempat tidur sambil menggerutu dan mengumpat, aku mengambil sekantung darah di kulkas dan selang kecilnya. Renjun sedang terengah-engah di lantai kamar saat aku kembali ke sana."Gila. Apa berat badan vampir emang kayak batu gunung semua?" gumamnya.
"Ah iyaㅡ maaf aku lupa ambil minum buat kamu juga. Ambil sendiri ya di dapur? Anggap aja bukan rumah sendiri," kelakarku sambil bersiap memberi darah untuk Jeno.
Renjun tertawa malas untuk mengapresiasi candaanku. Sambil mengeluh, lagi, dia beranjak dari lantai lalu melangkah ke luar. Tinggal aku dan Jeno. Pintu kamar kututup dari dalam.
"Ron, pssst!"
Tanganku masih di handle pintu saat mendengar desisan dari arah tempat tidur. Saat aku menoleh, Jeno sudah duduk di atas kasur dalam keadaan seperti tidak pernah pingsan sebelumnya.
"Hey, kamu nggak apa-apa?" tanyaku.
Jeno malah beranjak dari kasur dan menghampiriku yang bengong di depan pintu.
"Kunci pintunya dulu," bisiknya, menyuruhku mengunci pintu tapi malah memasang selot pintu itu sendiri.
Aku reflek menghindar dari depan dadanya. Bajunya Jeno bau darah, membuatku mual. Dia tampaknya sadar soal itu lalu segera menjauh dariku.
"Sorry," ujar Jeno sambil melepas bajunya, membelakangiku menghadap lemari pakaian.
"Kamu udah sadar dari tadi?" tanyaku sepelan mungkin.
"Iya. Dari tadi aku cuma pura-pura pingsan," Jeno menarik salah satu kaos putih dari lemari lalu memakainya.
"Kenapa??"
"Karena ada Renjun."
Kami bertukar tatap dengan alis bertaut. Jeno sudah kembali ke kasur lagi. Memposisikan diri seperti saat pura-pura pingsan tadi.
"Ron, pokoknya jangan sampai Renjun tau aku cuma pura-pura. Anggap aku nggak sadar dan nggak tau dia udah tau tentang identitas vampirku. Aku nggak mau Renjun dalam bahaya kalau kami nggak sengaja ketauan vampir lain," kata Jeno, masih bisik-bisik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Werevamp ✓
FanfictionBukan cuma manusia yang bisa jadi vampire, vampire juga bisa jadi manusia lagi loh! Tidak percaya? Ikuti aku dan Lee Jeno, kami werevamp ㅡum, maksudnya werevamp dan calon werevamp. ©smallnoona 2018