04. chance

46.1K 9.3K 2.3K
                                        

"Apa? Entertainment?" tanyaku, cukup kaget hanya karena satu kalimat yang diucapkan seorang perempuan berpenampilan rusuh di hadapanku.

"Iya. Penelusurannya lumayan susah tapi sementara ini kesimpulannya adikmu kerja di dunia hiburan negara ini," Yubi, orang yang kupercaya untuk menyelidiki jejak adikku, meletakkan gelas soju-nya di meja.

Aku sudah tahu kalau adikku ada di Korea, setelah mencari jejaknya di berbagai negara lain seperti China, Jepang, Hongkong, dan Korea Utara. Kami lahir di Amerika, tapi sejak ayah tiriku mengacaukan keluarga kami, ibuku yang sedang mengandung hilang. Ternyata dia meninggal, aku tahu beberapa tahun kemudian. Tinggal adikku yang entah di mana, satu-satunya alasan aku masih bertahan sebagai manusia.

"Maksudnya, dia artis?" tanyaku pada Yubi. Dia mantan agen intelegensi rahasia internasional, tempat sebagian besar uangku dihabiskan.

"Nah, kalau itu aku belum tau. Jejaknya terlalu samar, apa lagi dia beberapa kali ganti nama dan identitas kan?" jawab orang itu.

"Iya juga sih," gumamku.

"Sementara ini cuma itu. Mana bayaranku?" tangan kusam menagih di hadapanku.

Kuambil seamplop uang di saku, lalu segera berpindah ke tangannya.
"Ini. Pokoknya segera hubungi lagi kalau ada petunjuk lain."

"Kerja di dunia hiburan bukan cuma artis. Bisa penyanyi, kru, penulis skenario, stylish, staff kantor biasa juga bisa," lanjut Yubi. "Tenang, aku coba cari tahu lebih banyak lagi."

"Oke," aku mengangguk. "Terima kasih banyak."


Setelah berpamitan sekadarnya, aku beranjak dari tempat duduk butut rumah minum. Beberapa orang memperhatikan aku karena memang aku masih memakai seragam sekolah. Ini area prostitusi dan minuman keras, tidak seharusnya ada siswa SMA berkeliaran. Tapi tidak ada pilihan lain, hanya di sini aku bisa bertemu Yubi.

Aku keluar dari rumah minum bobrok ke gang yang sama kumuhnya. Sejak kekuatan vampirku hilang, aku sama lemahnya dengan gadis muda lain. Berkeliaran di tempat semacam ini berbahaya, walaupun masih sore. Aku hanya bisa berdo'a dalam hati semoga tidak dirampok atau diperkosa orang mabuk.




"Halo, anak nakal."

Demi Tuhan, aku bahkan terlalu kaget untuk berteriak saat sepotong mantel menyelubungi tubuhku. Di saat yang sama, aku melihat Lee Jeno tersenyum tanpa rasa bersalah di sebelahku. Ia menutup lagi wajahnya dengan syal.

"Astagaㅡ berapa kali sih aku harus bilangㅡ" aku gelagapan antara emosi dan kaget.

"Jangan muncul tiba-tiba?" sambung Jeno. "Sorry. Kebiasaan. Lagian kamu tuh harusnya jangan berkeliaran di tempat semacam ini pake seragam sekolah."

Kutepis tangan Jeno yang kurang ajar merapatkan mantelnya di tubuhku. Apa artinya dia mengikutiku lagi? Bagaimana kalau dia tahu soal Yubi dan adikku? Ini gawat.

"Kamu ngapain di sini?" tanyaku tajam. "Jangan bohong, aku butuh jawaban jujur."

"Habis pesta darah sama vampir lain. Aku yakin kamu tau di sini ada gedung khusus kami," jawab Jeno sepelan mungkin.

Kuselidiki sorot mata dan gerak-geriknya, tak semudah itu percaya. Lee Jeno sejauh ini seperti cowok berkepribadian ganda bagiku. Kadang lembut dan sopan, kadang kasar dan keras kepala. Dan iya, ada bangunan rahasia untuk klan vampire dekat sini. Tapi tetap saja aku curiga.

"Beneran?" tanyaku.

"Iya Lee Sharonㅡ astaga, nggak percaya??" Jeno mendengus. "Nih kalau nggak percaya, aku baru beli lotion baru!"

Werevamp ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang