Seandainya Chenle perempuan, sudah kupeluk seerat mungkin saking sulitnya rasa terima kasihku diungkapkan dengan kata-kata. Kami sudah ada di private jet yang kurasa milik keluarga Chenle. Ibunya tidak jadi ikut karena sedang ada urusan. Lagi pula, kami tidak akan terlalu lama di China.
"Kamu yakin pantinya belum pindah?" tanyaku pada Renjun.
"Yakin. Sejak trainee di Korea, walaupun jarang tapi kalau ada libur cukup lama pasti ibuku ngajak ke sana. Jia Huaning udah diadopsi lama banget. Kapan persisnya, aku lupa soalnya masih kecil," Renjun menjelaskan panjang lebar.
"Wah... kok bisa ya takdirnya ternyata kayak gini? Padahal Sharon udah cari adiknya bertahun-tahun, tapi ternyata malah ketemu karena hal yang nggak sengaja," komentar Chenle yang sejak tadi hanya jadi pendengar.
Aku menggeleng. "Belum, belum ketemu. Aku nggak mau berharap banyak dulu, takut kecewa lagi."
"Jangan gitu, kamu harus optimis. Kalau datanya lengkap pasti bisa ketemu kok," hibur Renjun dengan suaranya yang menenangkan.
Tangan Renjun dengan canggung terulur ke pundakku. Seperti mau mengusap-usapnya tapi akhirnya urung. Entah perasaanku saja atau sejak dia memang agak aneh sejak sekitar dua pekan yang lalu.
"Mukanya kayak gimana? Si Jia Huaning itu?" celetuk Chenle.
"Hm... pokoknya cantik banget," Renjun menerawang udara, sambil mengingat-ingat. "Pokoknya dari semua anak yang ada di panti, dia yang paling cantik. Tapi, sorry, menurutku nggak terlalu mirip Sharon."
"Masa sih? Mungkin karena masih kecil jadi mukanya masih berubah-ubah," sahut Chenle.
"Iya, mungkin karena dia masih kecil," lagi-lagi Renjun tersenyum untuk menghiburku. "Toh ada kesamaannya. Sama-sama cantik."
"Aku yakin tanda itu pasti ibuku yang bikin," ujarku. "Ibuku tau pasti aku nggak akan menyerah cari dia dan adikku."
Chenle mengulurkan tisu karena aku mulai berlinang air mata lagi. Sebenarnya aku malu sekali menangis di depan dua orang ini, tapi perasaanku benar-benar campur aduk sekarang. Aku sangat berharap bisa bertemu lagi dengan adikku, tapi di satu sisi takut takdir sudah bersiap mengkhianatiku untuk kesekian kalinya.
"Um... Chenle, maaf aku jadi bikin repot. Pasti harga sewa jet pribadi mahal, tapi aku anggap ini hutang," ujarku.
"Ey, nggak usah," tolak Chenle mentah-mentah. "Ini emang bukan jetpule sih, tapi emang sengaja buat kepentingan mendesak jadi nggak apa-apa. Nggak semahal itu juga kok~"
"Tapiㅡ"
"Nggak usah, serius," tukas Chenle. "Kalau kamu maksa, aku marah loh."
Aku menggerutu sendiri karena serba salah. Jujur, aku tidak suka berhutang budi. Kalau sudah kembali ke Seoul aku harus berterima kasih pada ibunya Chenle. Sebisaku.
"Nanti kita naik apa ke panti? Taksi?" tanyaku.
"Tenang aja, udah siap semuanya," sahut Chenle lagi.
"Bagus. Nanti aku kasih tau alamatnya," Renjun mengangguk-angguk.
Memang penerbangan tidak memakan waktu terlalu lama. Kami sampai dan seperti yang Chenle janjikan, langsung ada mobil yang siap mengantar ke panti asuhan. Renjun menelepon ibunya, bilang kalau dia sedang ada Shanghai.
"Ibuku katanya mau ke panti juga, siapa tau bisa bantu bilang ke pemilik pantinya," kata Renjun setelah memutus sambungan telepon.
"Astagaㅡ aku bingung harus bilang apa ke kalian," aku menatap keduanya bergantian. "Kalian udah bantu terlalu banyak. Cuma terima kasih nggak akan cukup."
KAMU SEDANG MEMBACA
Werevamp ✓
FanfictionBukan cuma manusia yang bisa jadi vampire, vampire juga bisa jadi manusia lagi loh! Tidak percaya? Ikuti aku dan Lee Jeno, kami werevamp ㅡum, maksudnya werevamp dan calon werevamp. ©smallnoona 2018