50. second chance

29.5K 6.9K 2.1K
                                    


Behind the scene:

Sumpah sih pengen nangis kejer, sebelumnya chapter ini uda diketik sampai hampir selesai terus tiba-tiba... App not responding.

Masih tenang, wp ada revision history. Eeeh ternyata di history juga belum kesimpen 😭😭😭

Sakit hati ini, nggak lagi-lagi ngetik langsung di wattpad 😭😭😭😭

Sorry kalo jadi lebih pendek, sambil meratapi nasib soalnya ngetik ulang dari awal 😭😭😭😭😭

Kalo feedbacknya nggak sebanding, sedih sih aku 😭😭😭

*****














Aku terduduk lemas, bersandar di salah satu pilar rumah mewah ini. Masih tidak jauh dari mayat Jeno yang sudah kututup dengan kain putih bekas penutup furnitur. Air mataku seperti sudah kering, jadi menangis pun tidak sanggup sama sekali. Kuharap ini mimpi buruk, nyatanya bukan. Ini nyata. Lee Jeno benar-benar sudah meninggal.

Setelah mengumpulkan kesadaran, kugunakan sisa energi untuk menghubungi Renjun. Bagaimana pun aku tidak akan kuat menggotong Jeno sendirian. Akan lebih cepat kalau Jeno kami bawa keluar berdua. Kutekan kontak Renjun di layar ponsel.

"Halo?" Renjun langsung mengangkat panggilan.

"Renjun..." gumamku. Bagaimana aku mengatakannya?

"Ron? Gimana? Kenapa?" sahutnya tidak sabar.

"Renjunㅡ diaㅡ" kalimatku terputus isakan.

Hening. Kurasa Renjun bisa mengerti perkataanku walau belum selesai. Kupegangi dadaku saking nyerinya.

"Bohong..." Renjun akhirnya bicara lagi. "Kamu bohong kan??"

"Renjun, aku ada di lantai tiga. Aku butuh bantuan kamu buat bawa... mayat Jenoㅡ"

"Mayat?" suara Renjun bergetar. "Ron, please. Jangan bercanda. Mana Jeno, aku mau ngomong langsung."

"Huang Renjun!" aku berseru kalap sambil menangis tanpa keluar air mata. "Aku serius! Tolong, aku nggak sanggup sendirian, Renjun..."

Hening lagi. Kemudian beberapa kali terdengar embusan napas berat. Lalu telepon diputus begitu saja. Renjun pasti sangat shock. Sama, aku juga. Siapa yang tidak shock?

Sebisa mungkin, aku harus bertahan sebentar lagi. Setidaknya harus kupenuhi permintaan Jeno untuk dibawa ke rumahnya ㅡwalaupun sekarang dia sudah tak bernyawa. Ya, sekarang hanya itu yang bisa kulakukan untuk Jeno. Kupaksakan diri bangkit dan mencari tas perbekalan, seingatku di sana ada bathrobe. Akan lebih baik kalau Jeno dipakaikan bathrobe daripada hanya terbalut celana renang.

"Ron!" terdengar suara Renjun memanggil namaku sering derap lari yang mendekat.

Belum sempat aku berkata apa-apa, Renjun sudah terbeliak ketika melihat gundukan berbentuk tubuh manusia ditutupi kain putih. Aku masih berjongkok di lantai setelah mengambil bathrobe, sementara Renjun sudah berlari menghampiri mayat Jeno.

"I-ini..." tangannya gemetaran menunjuk jasad itu. Mata Renjun mulai berkaca-kaca.

"Iya, itu Jeno," kujawab dengan pedih.

Renjun langsung membuka kain penutup itu. Dia memekik ngeri, terhuyung ke salah satu pilar kemudian muntah. Hatiku sakit menyaksikan semua ini. Wajar Renjun mual melihat keadaan Jeno yang memang cukup mengenaskan ㅡkulit pucat, urat hitam menonjol. Seperti monster.

Werevamp ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang