"Ehem.”
Terdengar dehaman merdu yang asalnya tidak jauh dari belakangku. Astaga, Huang Renjun, aku sampai lupa. Seakan sadar di waktu yang bersamaan, Jeno juga reflek melepaskanku. Canggung sekali saat aku berbalik dan melihat Renjun berdiri sekitar dua meter dari kami berdua. Bagaimana aku bisa menjelaskan semua ini? Tapi –kenapa juga aku harus menjelaskan segala?
“Eh—anu—hai,” Jeno melambai canggung pada temannya.
Renjun tertawa hambar. “Hai? Dari mana aja?”
Pertanyaan sederhana yang tidak bisa dijawab dengan sederhana, tentu saja. Aku dan Jeno saling lirik, berharap menemukan jawaban yang aman untuk pertanyaan Renjun. Tapi kami pasti malah kelihatan makin mencurigakan.
“Liburan keluarga,” jawab Jeno akhirnya, dengan nada santai yang kuakui terdengar meyakinkan.
“Kalian ngapain di sini?”
“Ya mau makan dimsum, masa cerdas cermat?” sahut Renjun.
“Ah—tadi habis belajar kita langsung ke sini. Kamu mau kan gabung?” tawarku pada Jeno.
Dari ekspresinya sih Jeno tampak sedang sangat ingin membicarakan sesuatu yang penting denganku. Sesuatu yang tentunya orang lain tidak bolah tahu. Termasuk Renjun. Di sisi lain, aku tidak enak kalau asal meninggalkan Renjun sekarang. Itu sangat tidak etis.
“Nggak apa-apa kok kalau kalian mau pergi berdua,” suara Renjun memecah jeda di antara kami, seakan-akan bisa membaca keadaan.
“Hah? Tapi kan…”
“Serius, nggak apa-apa. Aku kenal sama pemilik tempat ini, bisa telepon yang lain juga biar ke sini. Kan nggak jauh dari kantor,” Renjun memotong kalimatku.
“Um… anu…” gumamku karena bingung, mataku menatap Jeno dan Renjun bergantian.
Kenapa sih Jeno malah diam saja? Padahal aku berharap dia bilang sesuatu supaya keadaan tidak terlalu awkward. Apa matanya masih agak sakit jadi dia tidak mood bicara? Ah, cowok benar-benar susah ditebak.“Nggak apa-apa kok, udah pergi sana,” Renjun mengusir dengan nada bercanda sambil berbalik ke kedai dimsum. “Dah semuanya~”
“Renjun!” panggilku tanpa membalas lambaiannya.
Tapi Renjun tetap melambai dengan posisi membelakangi kami, berjalan masuk lagi ke dalam kedai dimsum. Aku jadi serba salah kan kalau begini.
“Kok kamu nggak bilang apa-apa sih ke Renjun?” protesku pada Jeno.
“Ngapain? Kan dia juga barusan bilang nggak apa-apa,” sangkalnya.
“Tapi kan… aku nggak enak. Kalian yang udah kenal lebih lama, harusnya basa-basi atau apa lah biar keadaannya nggak secanggung tadi?”
“Ayo pulang,” ujar Jeno tanpa menghiraukan ocehanku.
Mau tidak mau aku mengikuti langkah Jeno karena dia mencengkeram tangan kananku. Tenaga manusia tidak sebanding dengan tenaga vampir-nya walaupun Jeno bisa dibilang sedang dalam keadaan lemah sekarang. Kalau pun dia sudah jadi manusia biasa, tenagaku juga pasti kalah sih. Lengannya seperti hulk.
“Kamu jalan kaki ke sini?” tanyaku.
“Iya. Terlalu bahaya kalau nyetir. Mataku masih kurang jernih,” jawab Jeno.
“Tapi—kok tau sih tempatnya yang itu?”
Jeno tersenyum tipis. “Kamu sendiri yang bilang tadi, aku udah lebih lama kenal Renjun.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Werevamp ✓
Fiksyen PeminatBukan cuma manusia yang bisa jadi vampire, vampire juga bisa jadi manusia lagi loh! Tidak percaya? Ikuti aku dan Lee Jeno, kami werevamp ㅡum, maksudnya werevamp dan calon werevamp. ©smallnoona 2018