Pernah tidak sih kalian merasa raga dan pikiran ada di tempat berbeda?
Sekarang aku sedang merasakan itu.
Sebagai orang yang sudah sangat lama tidak merasakan hal semacam ini, aku merasa tersiksa. Belum genap dua puluh empat jam sejak Lee Jeno berangkat ke Jeonju untuk menyepi, tapi aku sudah gelisah. Pikiranku berputar-putar pada berbagai kemungkinan hasil ritual mulai dari yang paling buruk sampai paling normal. Bagaimana pun, aku tidak tenang.
Satu-satunya hal bisa mencegahku menyusul Jeno ke Jeonju hanya dua muridku, Renjun dan Chenle. Sore ini tutor akan diadakan di rumah Chenle karena dia senang sekali cari alasan untuk membolos. Rencananya aku akan berangkat bersama Renjun, soalnya rumah Chenle tidak bisa dijangkau kendaraan umum dan aku tidak punya uang untuk naik taksi.
Penasaran Renjun akan menjemputku naik apa? Sama. Aku belum pernah melihat dia naik kendaraan kecuali hoverboard ㅡkalau benda itu bisa disebut kendaraan. Tapi masa kami mau naik hoverboard sampai rumah Chenle?
Ke rumah orang kaya naik mainan orang kaya?
Suara deru mesin terdengar tepat setelah aku mengunci pintu. Saat aku menoleh ke belakang, di depan pagar sudah ada motor skuter warna kombinasi cokelat dan putih. Pengendaranya tentu saja Renjun, dengan helm yang mengingatkanku pada kartun Pororo. Dia melambaikan tangan yang dibungkus sarung tangan wol.
"Helm," ujar Renjun sambil mengulurkan helm padaku. "Maaf ya, aku belum punya SIM mobil. Semoga kita nggak masuk angin."
"Yah, gimana lagi. Tenang, aku udah pake jaket," aku menyahut. Ya, aku memakai jaket dari Jeno.
Saat aku sudah siap naik di belakangnya, Renjun menghentikanku. "Sebentarㅡ kayaknya kamu aja yang pake ini," ucapnya sambil melepas syal yang melingkari leher.
"Loh, nggak usah. Kan kamu yang di depan," tolakku.
"Nggak apa-apa, aku udah biasa angin-anginan. Ayo, di rumah Chenle pasti udah banyak makanan enak," Renjun tertawa kecil.
Akhirnya aku menurut. Tanpa banyak basa-basi lagi meluncur ke rumah Chenle dengan aroma Renjun tercium jelas di syal yang menutupi sebagian wajahku. Satu hal yang sangat aku suka dari Renjun adalah dia sangat ramah. Sejak awal sikapnya bersahabat sekali, padahal aku orang yang agak kaku. Di perjalanan seperti biasa dia cerewet sekali membicarakan apa saja, mulai dari acara tv favoritnya sampai tokoh dalam game yang tidak kumengerti.
"Nama kita lucu juga ya kalau jadi squad Ron-Ren," cerocos Renjun. "Bagus kan?"
"Iya lah terserah. Rumahnya masih jauh nggak? Ini kayaknya udah masuk komplek orang kaya," sahutku.
"Rumahnya sekitar satu blok lagi. Kenapa?"
"Dingin," jawabku sejujurnya.
"Makanya tadi pake sarung tangan jadiㅡ bla bla bla bla."
Entah Renjun bicara apa, aku mulai lelah mengimbangi energinya yang seakan tidak habis-habis. Motor akhirnya melambat sekitar sepuluh meter dari sebuah rumah yang tidak kalah besar dengan rumah-rumah sebelumnya. Renjun meng-klakson lalu pintu pagar dibuka seserorang dengan seragam pelayan dari dalam. Setelah parkir di sebuah garasi besar yang diisi tiga mobil, kami berjalan mengikuti jalan setapak yang terhubung ke halaman depan.
Rumah semacam ini baru kali ini kulihat langsung ㅡbiasanya lihat di tv. Menyedihkan kan? Padahal aku sudah hidup ratusan tahun. Renjun memberi salam pada pelayan lain yang membukakan pintu untuk kami. Orang itu menyuruh kami langsung ke ruang belajar.
"Chenle tinggal sendiri di sini?" tanyaku pada Renjun.
"Kadang ada ibu atau kakaknya. Chenle kan lebih sering di dorm," jawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Werevamp ✓
FanfictionBukan cuma manusia yang bisa jadi vampire, vampire juga bisa jadi manusia lagi loh! Tidak percaya? Ikuti aku dan Lee Jeno, kami werevamp ㅡum, maksudnya werevamp dan calon werevamp. ©smallnoona 2018