39. last

29.8K 6.5K 1.2K
                                    

Sekarang semua berantakan, kurasa.

Selain perkembangan ritual Jeno, keadaan serba melenceng dari rencana awal. Aku sudah menyerah total mencari adikku, lalu aku menyukai Jeno. Walaupun dia bilang sudah tidak ada yang disembunyikan, tapi jujur sekarang aku sulit mempercayainya. Puncaknya kemarin, dia akhirnya tau apa yang terjadi dalam hatiku beberapa minggu belakangan. Aku bahkan mencuri first kiss-nya.

Yahㅡ dilihat dari reaksinya kemarin, aku yakin Jeno belum pernah mencium siapa pun. Gayanya boleh saja sok fuckboy, tapi nyatanya Jeno cuma remaja polos yang hanya menaruh hati hanya pada satu orang saja. Jinsoo.

Aku tidak mengerti Jeno marah atau kaget, atau apa. Dia langsung pergi setelah kejadian itu tanpa bilang apa-apa. Sampai sekarang Jeno belum kembali atau sekedar mengirim pesan. Tapi dia mengirim kurir yang mengantar makanan untukku setiap waktunya makan.

Tidak ada yang kusesali dari yang sudah terjadi. Terserah sekarang Jeno mau menganggapku bagaimana, yang penting aku lega. Kalau aku tidak seberani itu, dia akan terus menyiksaku sengaja atau tidak. Lagipula, one sided atau tidak akan sama saja. Seandainya Jeno menyukaiku juga, dia akan tersiksa dengan bau darahku dan ujung-ujungnya menjauh.

Aku sudah mengungkapkan apa yang mengganggu hati dan pikiranku, itu lebih dari cukup. Sekarang langkahku terasa lebih ringan. Melanjutkan hari-hari terakhirku menjadi guru Renjun dan Chenle. Yaㅡ sebentar lagi kontrakku habis.

"Apa? Jadi kamu mau kuliah? Selama jadi vampir kamu belum pernah kuliah?" tanya Renjun.

"Belum. Hidupku bukan film Twilight, Renjun. Aku nggak perlu pura-pura sekolah," sahutku.

Sore ini, kami sudah berboncengan di motor Renjun untuk pergi ke rumah Chenle. Bukan rumahnya yang jauh itu, keluarganya baru membeli rumah yang lebih kecil di dekat pusat kota. Renjun ternyata santai saja dengan kejadian Jeno tiba-tiba memarahinya kemarin. Malah dia minta maaf karena aku jadi demam gara-gara memancing semalaman di pinggir sungai.

"Jeno udah minta maaf ke kamu kan?" tanyaku pada Renjun untuk memastikan.

"Udah kok. Tapi sebenernya maksud dia bagus sih, emang nekat banget kita tidur di tenda," Renjun tertawa. "Dari kemarin dia agak aneh. Kalian belum baikan juga?"

"Nggak ada masalah apa-apa, biarin aja. Dia emang aneh," timpalku.

Renjun sepertinya tidak ingin membahas hal itu lebih lanjut. Dia lalu mulai cerewet seperti biasanya membicarakan berbagai hal. Mulai dari ikan aneh di palung mariana sampai street food favoritnya yang mendadak tutup setiap dia mengajak Chenle saat ingin beli.

Motor berhenti di sebuah rumah yang memang tidak sebesar rumah Chenle yang sudah pernah kudatangi, tapi tetap tidak kalah bagus. Pagarnya masih tradisional. Di dalam halamannya luas mengelilingi rumah ukuran sedang berlantai satu.

"Hey kalian! Sini!"

Teriakan Chenle membuat kami mengalihkan perhatian. Anak itu melambai-lambai di tepi semacam kolam. Ada beberapa joran pancing dan penahannya. Ahㅡ setelah dilihat dari dekat ternyata memang kolam pemancingan.

"Orang macam apa yang mancing sendirian?" kelakarku saat kami sudah berkumpul.

Chenle mencibir. "Kalian curang lagi kan, mancing nggak ngajak. Untung ada kolam pemancingan ini," ujarnya.

"Ini rumah siapa?" tanya Renjun sambil memandang sekeliling.

"Punya sepupunya ibuku. Tapi mereka pindah ke luar negeri, jadi sekarang kosong," jawab Chenle. "Kalian kemarin nggak dapet ikan kan? Ayo mancing lagi!"

Werevamp ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang