02. befriend

57.3K 10.5K 3.4K
                                    

Kukira kalian sering menonton drama yang pemerannya tinggal di rooftop? Kalau kalian kira tempat itu keren dan ㅡum, romantis? Kenyataannya biasa saja.
Aku tinggal di kamar petak kecil di rooftop sebuah bangunan kost, karena itu yang paling murah. Sudah kubilang, hidupku pas-pasan. Sekarang saja aku bingung mau makan malam apa setelah uangku hampir habis untuk membayar laundry selimut.
Yah, musim dingin sudah datang.








"Kring kring~"

Aku menoleh mendengar suara manusia yang pura-pura jadi bel sepeda. Siapa lagi kalau bukan dia? Si bulan sabit lagi, tapi kali ini naik sepeda.

"Kamu lagi," keluhku.

Jeno memarkir sepeda pink-nya, lalu merebut bungkusan selimut di pelukanku.
"Iya, aku lagi. Hai Lee Sharon," sapanya sok akrab.

"Hey- selimutku!" aku protes, tapi tidak bisa melawan tangan kekarnya.

"Biar ditaruh di keranjang," Jeno benar-benar menjejalkan selimutku di keranjang sepeda, lalu menepuk-nepuk boncengan. "Nah, ayo naik."

"Apa?" decihku.

"Naik," ulang Jeno.

"Nggak mau."

"Nggak bisa naik sendiri? Mau dinaikin?"

"Heyㅡ stop. Stop, oke? Kamu ngapain sih di sini?" tanyaku akhirnya.

Dia tersenyum sambil mengangkat bahu.
"Kamu kan belum jawab permohonanku kemarin, jadi aku datang lagi. Ayo, pulang," ujarnya.

"Tapiㅡ naik sepeda?"

"Kenapa? Kamu nggak suka cowok yang naik sepeda? Ini kan anti mainstream, romantis," jawabnya santai.

"Astaga, bukan gitu," gelengku. "Berapa kali aku harus bilang, kita nggak seakrab itu."

Jeno berdecak sambil tertawa kecil.
"Berapa kali juga aku harus bilang, aku mau kita akrab?"

Aku kehabisan kata-kata. Dari mana sih orang ini belajar berkata-kata seperti itu? Benar-benar khas fuckboy, salah satu tipe manusia yang harus dihindari di dunia ini. Ah, aku lupa ㅡdia vampir.

"Oke, tapi aku berat loh," akhirnya aku menyetujui, naik ke boncengan sepeda.

"Berat apanya? Badan kayak lidi gitu," timpal Jeno, menarik tanganku melingkar di pinggangnya. "Pegangan. Jalannya agak licin."

Tadinya aku mau menolak, tapi ternyata jalanan memang licin. Konyol rasanya kalau ingat Jeno itu vampir. Kalau dia normal, kami pasti sedang lompat dari gedung ke gedung dalam kecepatan tinggi alih-alih boncengan naik sepeda. Tapi kita tahu, Lee Jeno vampir abnormal.

"Apa kamu emang sok akrab ke semua orang?" tanyaku.

Dia tertawa kecil.
"Nggak kok. Tergantung kebutuhan aja, aku butuh kamu," jawabnya. "Bukannya rata-rata orang juga gitu? Cuma datang kalau butuh."

Selera humornya boleh juga, aku tertawa.
"Ini sepeda siapa?"

"Sepeda kantor. Harusnya cuma buat di dalam gedung, tapi biar deh dipakai keluar. Mereka masih punya banyak sepeda."

Kantor yang dimaksud pasti SM Entertainment. Kebetulan aku tinggal tidak jauh dari komplek gedung mereka. Tapi aku di bagian komplek gang yang kumuhnya, di balik dinding-dinding tinggi yang mewah.







"Nih, parkirin sana," suruh Jeno seenaknya saat kami sampai, meninggalkan sepedanya bersamaku.

"Heh!" protesku, tapi dia sudah berlari menaiki tangga dengan kecepatan vampir. "Ish, dasar."

Werevamp ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang