13. feeling

36.4K 8.3K 1.9K
                                    

"Kenapa sih, dateng-dateng marah?" protesku karena Jeno cemberut terus sejak menyeretku keluar dari ruangan tutor. Kalau begini rasanya jadi seperti Jeno memang pacarku, posesif sekali.

"Diem. Aku marah," ujarnya singkat.

"Ya marahnya kenapa? Aku kan nggak ngapa-ngapain??"

Dia menoleh padaku, menatapku tajam ㅡke mana perginya Lee Jeno yang 'manners maketh man'? Entahlah, selain abnormal dia ternyata juga bipolar.

"Kamu tuh lagi sakit, kan aku udah bilang jangan keluar rumah dulu? Terus naik hoverboard? Jaketnya tipis? Apa susahnya sih istirahat beberapa hari di rumah?" omelnya dengan nada tenang, bayangkan sendiri.

Aku menunduk. "Ha-habis, aku nggak mau makan gaji buta," jawabku. "Lagian udah hampir sembuh kok."

"Justru udah hampir sembuh, kalo pecicilan nanti sakit lagi Lee Sharon," sahut Jeno penuh penekanan.

"Aku jadi tutor bahasa, bukan pecicilan. Ini bukan ke rumah, kita mau ke mana?" tanyaku menyadari Jeno mengendara bukan ke jalan menuju rumah.

"Beli jaket. Beli makanan," jawabnya singkat, lagi.

"Nggak usah. Aku bisa beli jaket sendiri kapan-kapan. Makanan juga nanti biar aku cari sendiri."

"Ck, nungguin kamu kebeli jaket bagus sendiri keburu musim panas."

"Heh, penghinaan!"

"Kenyataan. Emang kamu punya uang? Nggak kan?"

"Kamu juga emangnya udah punya SIM? Kebiasaan keluyuran tanpa izin resmi, nggak boleh tau!"

Jeno menghela nafas, tanpa ada hembusan nafas yang dia keluarkan ㅡtentu saja.
"Kalau nggak pake mobil, nanti kamu keanginan. Nanti sakit lagi," jawabnya. "Udah tenang aja, lagian SIM-ku sebentar lagi jadi."

Oke, aku diam.
Entah bagaimana Jeno memang selalu bisa memenangkan situasi. Memang dia benar sih, lebih baik aku istirahat dulu di rumah. Tapi masa harus kujelaskan kalau diam di rumah aku tidak bisa menghasilkan uang?
Aku sudah biasa hidup irit, tapi yang lebih penting adalah uang untuk membayar informasi tentang adikku.
Huft.

"Kenapa? Kok diem?" tanya Jeno, dia menempelkan punggung tangan di keningku. "Pusing?"

Aku baru sadar mobil sudah diparkir di depan area pertokoan. Kusingkirkan tangan Jeno dari keningku sambil menggeleng.
"Nggak apa-apa. Di sini beli jaketnya? Jangan yang terlalu mahal ya, aku anggap ini hutang," ujarku sebelum melepas seatbelt dan keluar dari mobil duluan.


Jeno mengikutiku, setelah memasang topi untuk sedikit menyembunyikan wajahnya. Di drama Korea membeli sesuatu di toko bersama begini selalu tampak romantis, kalau antara aku dan Jeno sama sekali tidak. Seleranya fashion-nya jelek sekali, lebih jelek dari aku. Setelah memilih yang cukup tebal tapi tidak terlalu mahal, aku menyerahkannya pada Jeno.

"Nih, bayar sana," ujarku.

"Yakin yang ini? Oke, tunggu ya," kata Jeno, pergi ke kasir setelah melihatku mengangguk.

Aku memilih menunggu sambil melihat-lihat jaket untuk cowok. Ulang tahun Jeno kapan sih? Selama ini dia banyak mengeluarkan uang untukku, sekali-kali aku ingin membalas bantuannya. Tapi Jeno benar, mungkin baru terbeli musim dingin tahun depan?


"Senyum-senyum sendiri, sakit lagi nih kayaknya," kata Jeno yang entah sejak kapan sudah di sebelahku.

"Udah? Sini, biar aku pulang sendiri," aku mengulurkan tangan ke tas belanjaan yang ia bawa.

Tapi Jeno menjauhkan benda itu dariku.
"Pulang sendiri? Jalan kaki?"

"Iya. Atau naik bis kan bisa," jawabku. "Sini jaketnya."

Werevamp ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang