Sejak pulang dari rumah Chenle kemarin pikiranku bercabang pada Jeno dan Chenle. Yang lebih bingung dari aku tentu saja Renjun. Usahanya mengejar Chenle kemarin tidak membuahkan hasil apa-apa. Kemarin dia kembali sendirian dengan wajah murung. Kami terpaksa makan sedikit lalu pulang dengan perasaan campur aduk.
Kami sepakat sementara ini jangan ada yang tahu dulu tentang kejadian penuh teka-teki itu, karena sepertinya hal itu sangat penting untuk Chenle. Kami berakhir pulang dalam kecanggungan dan hanyut dalam pikiran masing-masing. Renjun tidak cerewet seperti biasanya. Aku tahu, dia pasti sangat mencemaskan Chenle.
Besoknya alias hari ini, entah aku terlalu mendramatisir atau saat bangun pagi rasanya hampa. Tidak ada nama Jeno pada notifikasi ponselku, dan aku terlalu gengsi menghubunginya duluan. Baru satu hari, belum waktunya khawatir. Setidaknya kalau besok dia tidak ada kabar, baru aku akan mencari tahu.
Aku baru selesai sarapan dan beres-beres rumah saat ada yang menghubungi ponselku. Kukira Jeno tapi ternyata nama Renjun yang muncul. Ada apa ya?
"Halo?"
"Hai. Sibuk?" tanyanya.
"Hm... nggak. Kenapa?"
"Aku ke rumahmu ya?"
"Hah? Mau apa? Maaf ㅡmaksudnya, kenapa tiba-tiba?" ujarku tanpa terdengar melarang.
"Um- ada sesuatu, nggak bisa lewat telepon. Tapi kalau kamu nggak mau juga nggak apa-apa."
Aku jadi tidak enak. "Boleh kok. Kebetulan hari ini aku belum ada rencana bepergian."
"Oke. Aku pergi sekarang," sahut Renjun.
"Oke."
Setelah telepon ditutup aku buru-buru mandi karena baru sadar aku belum mandi. Senin pagi begini memangnya Renjun tidak sibuk? Aku sebenarnya agak kaget karena kurasa kami tidak seakrab itu untuk sengaja meluangkan waktu hanya berdua. Bagus sih kalau Renjun menganggap aku temannya, tapi masalahnya masih ada beberapa hal yang harus kututupi darinya saat ini.
Renjun tidak boleh tahu aku werevamp dan Jeno calon werevamp. Dia juga tidak boleh tahu kalau kami tidak pacaran sungguhan.
Aku masih menyisir rambut saat terdengar bunyi ketukan pintu. Itu Renjun, dari suaranya memanggil namaku. Aneh, tidak ada suara motor skuter atau hoverboard. Dia ke sini jalan kaki?
"Hai," sapaku sambil membuka pintu.
"Hai," dia tersenyum, matanya tampak berkantung.
"Masuk?"
"Um- aku takut tetanggamu salah paham. Mau makan kue nggak? Aku tau tempat yang enak," sahut Renjun.
Benar juga sih, pasti canggung hanya berdua di dalam rumah.
"Ahㅡ oke. Sebentar, kalau gitu. Aku ambil jaket," ujarku. "Tunggu di dalem?"
Renjun menggeleng. "Di sini aja."
Beberapa menit kemudian kami sudah menyusuri tepian jalan yang cukup sepi. Senin pagi begini rata-rata orang sudah masuk sekolah atau kerja alih-alih keluyuran seperti aku dan Renjun. Udaranya segar, bercampur dengan aroma shampoo Renjun yang seperti menthol dan lime. Dia belum bilang apa-apa sejak kami keluar dari pintu pagarku.
"Kamu udah tau Chenle kenapa?" aku membuka percakapan.
Renjun hanya menjawab dengan anggukan.
"Ng- aku boleh tau?"
Sejenak menoleh, Renjun lalu berucap singkat, "Nanti."
Dari raut wajahnya sih kurasa apa yang terjadi pada Chenle bukan hal menyenangkan. Aku mengerti yang dimaksud Renjun dengan 'nanti' adalah kalau kami sudah di kedai kue. Jadi aku bersabar sampai akhirnya Renjun menarikku ke sebuah toko kue yang wanginya enak sekali. Dia tanya aku mau makan apa lalu memesan untuk kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Werevamp ✓
FanfictionBukan cuma manusia yang bisa jadi vampire, vampire juga bisa jadi manusia lagi loh! Tidak percaya? Ikuti aku dan Lee Jeno, kami werevamp ㅡum, maksudnya werevamp dan calon werevamp. ©smallnoona 2018