32. hugs

32K 7.2K 854
                                    

Tiap mengingat Jinsoo, aku berpikir dia sangat malang tapi juga beruntung.

Aku tidak suka jadi orang yang lemah atau dikasihani. Jadi orang seperti Jinsoo yang sakit dan lemah pasti menyedihkan. Tidak bisa melakukan banyak hal karena hanya bisa diam di tempat tidur atau kursi roda, merasa tidak berguna, sedih sekali. Tapi di sisi lain dia beruntung. Dalam keadaannya yang seperti itu keluarganya sangat menyayangi Jinsoo, dan ada satu orang yang rela melakukan apa pun karena menyukainya ㅡLee Jeno.

Semua rasa sakit yang terjadi tiap ritual perubahan menjadi Werevamp sebanding kalau Jeno sangat menyukai Jinsoo. Aku mengerti karena dulu aku juga ingin jadi Werevamp demi adikku yang lahir sebagai manusia. Pasti menyenangkan kalau aku bisa menjaganya, melakukan banyak hal bersama, aku tidak akan kesepian lagi. Ahㅡ sudahlah, sudah tidak ada harapan.

Sehari setelah meninggalkan Jeno di kastil drakula milik sepupunya, aku menjalani hidup dengan gelisah. Persis sama seperti saat dia sembunyi pasca minum proceno. Setidaknya aku yakin Jeno aman di sana. Rumah itu luar biasa, tidak terlalu besar atau mewah tapi arsitekturnya sangat bagus. Seandainya rumah itu milikku, kalau kujual pasti bisa untuk beli lagi rumah bagus di daerah Gangnam.

Ahㅡ pasti enak kalau jadi orang kaya.


"Nggak juga. Nggak semuanya bisa diukur pakai uang," kata Chenle saat aku bilang jadi orang sekaya dia pasti hidup akan lebih mudah.

"Hm... iya juga. Dulu aku pikir kalau udah punya banyak uang semua masalah selesai, tapi nyatanya ada hal-hal penting lain di kehidupan manusia," Renjun menimpali.

Kami bertiga di minimarket setelah selesai dengan tutor bahasa. Renjun menepati janjinya untuk mentraktir kami makan ramen. Sebenarnya Chenle tidak termasuk sih, tapi kasihan kalau dia tidak diajak juga.

"Kalau mau kaya, jadi pacar Jeno sampai kalian menikah, dia uangnya banyak," ujar Chenle. "Atau ikut casting aja sana, kamu lumayan cantik."

"Ck- segampang itu ngomong," decihku.

"Kenapa? Nggak ada salahnya ikut casting. Kalau udah terkenal, nanti kita bikin skandal settingan biar makin terkenal," kata Renjun makin ngawur saja.

Aku memutar bola mata. "Kalau aku jadi artis, aku mau pura-pura nggak kenal sama kalian soalnya udah kaya."

"Kata orang tuaku sih jangan sampai kita dikendalikan uang. Harus uang yang dikendalikan kita," kata Chenle sambil menertawakanku.

"Tapi nyatanya semuanya butuh uang, banyak hal yang dikendalikan uang. Aku gagal ketemu adikku karena nggak punya banyak uang," sahutku.

"Hah? Adik? Adik apa? Bukannya kamu tinggal sendiri?" tanya Renjun, langsung berhenti mengaduk ramennya.

"Serius? Ron? Kamu punya adik?" Chenle juga bertanya. "Pasti adikmu cantik dan lebih muda dari aku, jadiㅡ"

Aku terkekeh sarkastik menanggapi gurauan Chenle. "Aku bahkan nggak tau adikku mukanya kayak apa. Ahㅡ bahkan aku nggak tau dia laki-laki atau perempuan."

Renjun dan Chenle bertukar pandang dengan dahi berkerut. Astaga, benar juga. Mereka belum tahu kalau aku sebatang kara seperti mereka, dan mereka juga belum kuberitahu tentang adikku. Tapi... haruskah? Memang mereka peduli?

"Maksudnya gimana sih? Kamu cari adikmu tapi nggak tau dia kayak gimana? Kamu belum pernah ketemu adikmu??" tanya Renjun.

Aku terdiam sejenak. Masih mempertimbangkan untuk membiarkan mereka tahu atau tidak. Setelah jadi guru mereka selama ini, kuakui memang aku sudah menganggap Renjun dan Chenle sebagai teman. Sama seperti Lee Jeno. Tapi kan belum tentu mereka juga menganggapku begitu?

Werevamp ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang