49. one out of two

27.6K 6.3K 1.5K
                                    

Kalau boleh jujur, firasatku sangat tidak enak sekarang.

Entah ini karena Lee Jeno mungkin sekarang tidak baik-baik saja, atau aku hanya tidak bisa melupakan adikku yang sedang sekarat. Air mata kekesalan terus keluar dari kelopak mataku. Dalam hati kuteriakkan terus kalimat yang sama; dunia tidak adil!

Nyatanya aku sudah kehabisan tenaga. Jadi sekarang kepalaku terkulai lemah di jok mobil. Menangis tanpa suara dan ekspresi karena takdir begitu jahat. Sesekali terdengar isakan lirih atau suara hidungku membersit ingus.

Sejak tadi Renjun juga hanya diam sambil menyetir. Wajahnya murung, dan kurasa dia tahu kalau banyak mengajakku bicara saat ini adalah ide buruk. Dia hanya bicara beberapa kali seperlunya, sampai kami menepi di depan sebuah minimarket.

Aku terkesiap begitu sadar mobil berhenti. "Renjunㅡ kita ngapain di sini?"

"Tunggu sebentar," ujar Renjun dengan senyum tenangnya yang khas.

"Hah? Tapiㅡ"

Terlambat. Renjun sudah melepas seatbelt kemudian keluar dari mobil. Ingin rasanya aku menyusul, tapi badanku lemas. Jadi aku hanya bisa menunggu di dalam mobil sambil menatap kosong ke arah minimarket. Tidak lama Renjun tampak keluar dari pintu minimarket membawa belanjaan dalam tas belanjaan bertuliskan 'save earth'.

"Nih, makan dulu. Kamu udah kehabisan tenaga," kata Renjun, menaruh belanjaannya di pangkuanku sebelum dia masuk ke dalam mobil lagi.

"Makan? Nggak ah- aku nggak nafsu makan," aku menggeleng lemah tanpa berminat menyentuh isi tas.

Renjun menghela napas kemudian mengambil tas yang kuabaikan. Dia mengeluarkan botol air mineral dan membukanya.

"Kalau perutmu kosong, nanti pingsan loh," kata Renjun dengan sabar. "Ayo, minum sedikit. Ini bukan waktu yang bagus buat pingsan."

Kutatap air mineral yang disodorkan Renjun dengan mataku yang pedih. Kerongkonganku juga pedih. Akhirnya aku mengalah, menerima botol itu kemudian menenggak isinya.

"Kimbap segitiga kan makannya gampang, porsinya sedikit juga. Ayo makan satu aja, setengah juga nggak apa-apa," Renjun berkata lagi sambil membukakan plastik pembungkus kimbap.

"Nggak usah deh, minum aja. Perutku mual," tolakku.

"Sshh, itu mual karena asam lambung tau, makanya ini dimakan," bujuk Renjun. "Udah dibilangin kan, ini bukan waktunya kamu pingsan."

Tangan Renjun tidak menyerah sampai aku mau mengambil kimbap di tangannya. Dia tersenyum lega saat berhasil membujukku. Tapi tetap saja, sorot matanya muram. Setidaknya Renjun tidak menangis seperti aku. Pasti wajahku sekarang jauh lebih tidak karuan.

"Aku juga minum dulu, perjalanan kita masih panjang," ujar Renjun, sekarang membuka botol air mineral yang satu lagi.

Kimbap yang kukunyah mungkin sebenarnya enak, tapi terasa hambar karena aku sedang berusaha keras tidak muntah. Kufokuskan perhatian pada Renjun yang sedang membuka plastik kimbap untuk dirinya sendiri. Sebisa mungkin aku mengalihkan pikiran dari Jinsoo atau Jeno sambil mengatur napas.

"Kamu tau? Aku juga sama nggak nafsu makan sedikit pun. Teman favoritku waktu kecil sekarang katanya sakit parah dan hampir meninggal, temanku yang lain juga belum jelas nasibnya gimana," Renjun mendecih miris. "Tapi aku harus makan. Lari ke sana sini butuh banyak energi."

Aku menelan kunyahan terakhir kimbap, kemudian meremas plastik bekas kemasannya dalam genggaman.

"Renjun, maaf aku cuma bisa bikin repot terus. Aku nggak bisa setegar biasanya dalam keadaan kayak gini," ujarku. Sialㅡ air mataku mulai keluar lagi.

Werevamp ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang