"Ini namanya gegabah. Kalau ada yang tahu, mungkin nanti kamu langsung mereka jadiin cemilan," kata Jeno, masih saja menentang ideku bahkan saat kami sudah sama-sama siap menjalankan rencana.
"Untung ini lotion belum kamu buang," ujarku, mengomentari sebotol lotion vampir alih-alih menanggapinya.
Suara helaan napas keluar di hadapanku tanpa dibarengi udara yang seharusnya keluar dari hidung lancip Jeno. "Nggak usah jadi ya? Atau biar aku yang ambil sendiri. Kan bisa kasih denah atau apa lah petunjuk biar aku bisa tau."
"Ck- harus berapa kali sih aku bilang masalahnya bukan cuma itu? Ramuan bawang proceno itu bahaya, aku takut kamu celaka sebelum ritualnya mulai. Nggak lucu kan?" jawabku sambil memasang lensa merah darah di bola mata.
"Tapi buktinya kamu sendiri dulu bisa?!"
Sekarang aku yang menghela napas. "Tadinya aku nggak mau bilang ini karena nggak mau dibilang sombong. Tapi karena kamu cerewet jadi ini terpaksa. Denger ya, usia vampirku udah ratusan saat itu ㅡaku kuat. Sedangkan kamu kan baru vampir kemarin sore, got it?"
Mendengar penjelasan panjang itu Jeno tampaknya mau mendebat tapi sadar diri. Bibirnya mengerucut kesal. Dia ini kenapa rewel sekali? Mencemaskan aku? Hahaha tidak mungkin. Aku tau dia hanya tidak ingin ritualnya gagal.
"Udah deh nggak usah banyak komentar, aku udah selesai," aku menyandang tas.
Menyeret langkah, Jeno mengikutiku keluar dari rumahku. Maksudku ㅡrumahnya. Ahㅡ tapi ini kan tetap rumahku? Baiklah, bagaimana kalau... rumah kami saja? Tidak, tidak- kedengarannya penuh ambigu. Aku harus menghentikan pemikiran semacam ini. Pemikiran berbahaya.
"Jadi penampilan kamu kayak gini waktu jadi vampir?" Jeno memecah keheningan di antara kami dalam perjalanan menuju kenekatan.
"Nggak juga sih. Ini sebenernya agak berlebihan. Terlalu ingin keliatan kayak vampir. Tapi udah malem, nggak akan ada yang sadar," jawabku.
Dia mendecih. "Tch, terlalu percaya diri."
Aku hanya mengangkat bahu. Persiapanku kan sudah matang, tidak ada salahnya percaya diri. Sebelumnya aku sudah menjelaskan pada Jeno kalau dulu aku bisa mengambil ramuan proceno dengan sedikit lebih mudah karena saat itu ramuan kebetulan akan dipindahkan ke tempatnya disembunyikan sekarang. Dulu, ramuan itu disimpan di basement salah satu gereja di pusat kota Seoul. Yah, kalian naif kalau mengira vampir takut salib atau Tuhan. Sudah kubilang, yang membedakan mereka dengan manusia hanya makanan, kekuatan fisik, dan sistem metabolisme saja.
Tujuan disembunyikannya ramuan itu adalah perjanjian supaya manusia dan vampir tidak saling mengusik ㅡya, pemerintah negara tahu betul kalau di dunia ini tidak hanya ada manusia. Masyarakat awam dibiarkan tidak tahu kalau bumi masih dihuni makhluk-makhluk mitologi, alien, penyihir, dan lainnya. Padahal kadang aku berpikir mungkin tidak ada salahnya kalau manusia tahu. Tapi masa bodoh lah, bukan urusanku.
Seandainya ramuan itu masih di gereja, akan lebih mudah menyamar jadi biarawati daripada vampir. Tapi mau bagaimana lagi, sekarang keadaannya begini. Aku harus ambil resiko. Sebenarnya aku agak heran pada diri sendiri, untuk apa bertaruh keselamatan demi Lee Jeno? Tapi sudahlah ㅡanggap saja aku profesional.
Ya. Ini demi diriku juga. Bukan karena aku diam-diam menganggap dia penting. Kuharap begitu.
"Aneh juga, kenapa coba ramuan yang bahaya buat vampir malah ditaruh di sarang vampir?" cetus Jeno saat aku tanpa sadar sedang berkutat dengan pemikiran tentangnya.
"Emang aku belum bilang soal itu?" tanyaku balik.
"Buat apa aku tanya lagi kalau udah pernah dibahas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Werevamp ✓
FanfictionBukan cuma manusia yang bisa jadi vampire, vampire juga bisa jadi manusia lagi loh! Tidak percaya? Ikuti aku dan Lee Jeno, kami werevamp ㅡum, maksudnya werevamp dan calon werevamp. ©smallnoona 2018